Postingan

Menampilkan postingan dari 2023

Situs Batu Tangga: Sisa-sisa Punden Berundak

Gambar
Kurang lebih satu jam perjalanan darat dari Bondowoso, terdapat sebuah situs megalitik yang (barangkali) tak banyak dikenal bernama Batu Tangga. Situs ini terletak di Dusun Binong Desa Plalaran Kecamatan Sumbermalang Kabupaten Situbondo. Para pendaki gunung lazim melewatinya, karena jalan di depan situs ini adalah salah satu rute pendakian ke Gunung Argopuro. Letak situs ini sekitar 7 km di bawah pos Hyang Timur Baderan yang dioperasikan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) yang menjadi titik awal pendakian. Tidak banyak yang diketahui mengenai situs ini. Menilik letaknya sejalan dengan jalur pendakian ke Gunung Argopuro dan keberadaan situs lain yang lebih besar dan penting bernama Rengganis di dekat puncak gunung tersebut, maka patut diduga Batu Tangga ini merupakan bagian dari suatu sistem pemujaan yang dianut nenek moyang. Kunjungan Junghuhn pada tahun 1844, Zollinger (1846) dan Verbeek (1891) ke Gunung Argopuro dan Hyang memberi informasi peninggalan di Rengganis yang memilik

Percakapan dengan Batu dari Masa Lalu

Gambar
Jawa Timur adalah salah satu dari empat lokasi di Indonesia yang menyimpan kekayaan arkeologis berwujud aneka konfigurasi batu, bersama-sama Sumatera Selatan, Jawa Barat dan Sulawesi Tengah. Peninggalan ini diwariskan nenek-moyang kita, ketika mereka bergerak menetap di khatulistiwa melalui proses migrasi yang panjang, dimulai hampir satu setengah milinea sebelum Masehi hingga beberapa abad setelah penanggalan Masehi dimulai. Situs megalitik di Jawa Timur tersebar secara relatif memusat di sekitar Situbondo, Bondowoso dan Banyuwangi. Peninggalan itu berwujud batu penutup kubur ( dolmen ), batu tegak ( menhir ) dan kubur batu ( sarcophagus ) tersebar di puluhan titik yang secara topografis dapat dihubungkan menjadi garis kontur penanda bahwa komunitas-komunitas penyusun batu ini mengikuti suatu pola perburuan dan perladangan tertentu sesuai ekosistem setempat. Sejumlah peneliti menggunakan pendekatan dari Stein-Callenfels (1934) dan Heine-Geldern (1945) menempatkan peninggalan-peninggal

Kiai Abisai Ditotruno

Gambar
Kang dumunung ana ing Sastroné Allah kang asipat gesang, yaiku kang ngasto uripku lan uripmu sarta uripé wong sajagad kabeh, kang ora arah ora enggon, kang ora dunung, iya ora dumunung, kang adoh tanpa wangênan, kang cèdhak tanpa sesenggolan, kèsépak ora kèsandung, ora rumangsani, sakjabané rerasan lan sakjroné rerasan.   [Dalam Firman Allah terdapat keselamatan, untuk hidupku dan hidupmu serta hidup semua orang, yang tanpa arah tanpa tempat, yang tidak tahu, tidak akan tahu, jauh namun tidak dirindukan, dekat namun tidak bersentuhan, tertendang namun bukan sandungan, tidak diketahui, baik di dalam maupun di luar perasaan.]  Sore itu, suatu hari Minggu di bulan September 2022, kalimat-kalimat dari ajaran bernama “toya wening” (air bening) seakan terngiang kembali. Saat itu saya berada di Mojowarno, sebuah kecamatan di Kabupaten Jombang yang sejak pertengahan abad ke 19 Masehi telah memiliki beberapa desa dengan populasi orang Jawa beragama Kristen.  Gambar 1: Kondisi makam Kiai Abisai