Antara Raja Purnawarman, Kapitein Phoa Bing Ham, Insinyur van Breen dan Gubernur Joko Widodo


Jakarta sudah menjadi langganan banjir dan genangan. Tidak saja di zaman kini, namun sejak dulu. Toh, setiap zaman punya solusinya sendiri.

Pada tahun 417 Raja Purnawarman dari Taruma – kerajaan tertua yang terekam dalam tarikh sejarah Indonesia – meresmikan perbaikan Sungai Chandra-bhaga. Peresmian ini tercatat pada Prasasti Tugu yang ditemukan dekat Jakarta, ibukota Indonesia. Prasasti Tugu adalah salah satu dari 7 prasasti yang ditinggalkan Kerajaan Taruma yang pernah memerintah dataran rendah Jawa Barat selama hampir 3 abad (sekitar tahun 358-690M). 

Sungai ini sendiri dikenal kemudian sebagai Sungai Bekasi (dari perubahan linguistik «bhaga» menjadi Bekasi). Rehabilitasi Chandra-bhaga bertujuan mengamankan lahan pertanian dari banjir dan menyediakan akses air bagi keperluan masyarakat saat itu. Rehabilitasi sungai sepanjang 11 km itu memang tidak dapat dimasukkan kategori «kebudayaan hidrolik» dari Wittfogel atau «despotisme timur» sebab tidak ada kelas penguasa yang memerintahkan pembangunan itu, namun peristiwa ini menunjukkan bahwa pada abad ke 5 banjir sudah menjadi isu penting.

Lain lagi peristiwa tahun 1647, ketika dua perwira dari Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang merupakan badan usaha milik kerajaan Belanda diberi kuasa menggali saluran di sekitar Batavia untuk keperluan navigasi (mengangkut barang dan orang). Saat itu Batavia masih berupa daerah rendah yang kerap terendam karena luapan air Sungai Ciliwung. Alhasil membuat jalan darat bukan pilihan yang ekonomis. Oleh karena itu, perwira bernama François Caron membangun Saluran Ancol yang kini menjadi Kali Ancol dan Johannes Ammanus membangun saluran yang menghubungkan Pelabuhan Sunda Kelapa ke pedalaman bernama Ammanusgracht. 

Tak lama kemudian, dengan alasan sama pada tahun 1648, Phoa Bing Ham yang menjadi «Kapitein orang Tionghoa» di Batavia (periode 1645-1663) menggali Saluran Molenvliet yang menghubungkan pusat Batavia dengan daerah pemukiman baru (Weltevreden) yang sekarang bernama Tanahabang.

Toh keberadaan saluran navigasi ini ternyata tidak menyelesaikan masalah genangan di seputaran Batavia. Sehingga, pada 1682 seorang pedagang kaya asal Belanda bernama Vincent van Mook memperoleh izin Gubernur Jenderal Hindia Belanda, untuk menghubungkan Batavia dengan pedalaman dengan menggali sebuah saluran. Saluran ini menghubungkan Sungai Angke dengan Sungai Cisedane sepanjang hampir 18 km dinamai Saluran Mookervaart (sekarang dieja sebagai Mukkervart) yang berguna untuk mengangkut barang dan orang, sekaligus mematus genangan air.

Di kemudian waktu seiring pertumbuhan sektor pertanian dan perkebunan di hulu Sungai Ciliwung, pada tahun 1748, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Baron van Imhof, memberi izin kepada pihak swasta membangun saluran dari Sungai Ciliwung di Katulampa dekat Bogor menuju utara hingga masuk ke Sungai Sunter. Saluran ini dinamakan Oosterslokkan dan dibangun dan uniknya dikelola pihak swasta. Penanggungjawab pertamanya bernama Johan van Wimmercrantz – seorang pengusaha kaya. Oosterslokkan ini pada awal abad ke 20 digabung dalam sistem irigasi Ciliwung-Katulampa dan dilengkapi saluran tambahan yang menghubungkan Sungai Cisedane dengan Banjir Kanal Barat dekat Manggarai.

Memang, pengendalian banjir di Batavia tidak pernah usai. Seiring meluasnya kawasan terbangun, maka berbagai saluran untuk navigasi dan irigasi tadi harus beradaptasi agar dapat membantu pematusan ibukota Hindia Belanda ini. 

Setelah banjir besar Oktober 1918, Herman van Breen (seorang insinyur lulusan Delft, Belanda) diberi tugas menyelesaikan soal pematusan di Batavia. Dia bekerja keras dan berhasil menyelesaikan Banjir Kanal Barat yang mengamankan sisi barat Batavia. Caranya: mematus sebagian besar air yang seharusnya masuk Sungai Ciliwung dengan langsung mengalirkannya ke laut. Melalui kajian lain, Breen bersama Polderman dan Dumont juga memisahkan Saluran Mokkervaart dari Sungai Cisedane sehingga air dari sungai itu tidakmenggenang ke saluran dimaksud. Rencana ini diselesaikan pada 1934. Dengan demikian pada saat itu terkendali sebagian besar air yang suka menggenang kaki para sinyo dan noni Belanda di Batavia.

Sekarang kita melihat Jakarta pada tahun 2014. Setelah beberapa kali dihantam banjir, berturut-turut 2001, 2004, 2007, 2009, 2011, dan awal 2013, akhirnya muncul desakan yang semakin kuat untuk mengendalikan air yang berkeliaran di rimba beton ibukota Indonesia ini. Dulu, pernah diusulkan membangun Bendungan Depok untuk menangkap air yang melimpas di Sungai Ciliwung dan menyimpannya sebelum dilepas secara bertahap bila aliran di sungai sudah memungkinkan. Namun rencana pembangunan ini terpaksa dilupakan karena lahan untuk genangan  waduk ini sudah terisi permukiman sehingga biaya pembebasan lahan akan membengkak.

Menarik untuk menyimak terobosan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo yang meminta kepada Pemerintah untuk menghidupkan kembali alternatif pembangunan bendungan lain guna mengendalikan aliran di musim hujan. Misalnya Bendungan Sukamahi atau Bendungan Ciawi, yang terletak di sebelah hulu Ibukota Jakarta. Kedua bendungan yang direncanakan berada di wilayah Jawa Barat ini diharapkan dapat mengurangi limpasan air di musim hujan yang mengalir turun ke Jakarta.

Sementara itu, sebuah pilihan lain juga dikembangkan, yakni dengan menghubungkan kembali sistem Sungai Cisedane dan Ciliwung yang dulunya dihubungkan Saluran Mokkervaart. Dengan menyambung kembali kedua sungai ini maka sejumlah air dari Sunga Ciliwung bisa «dititipkan» bila terjadi banjir ke Sungai Cisedane. Berdasar rancangan kala ulang 50-tahun maka aliran sebesar kurang lebih 300-an m3/detik bisa dititipkan ke Sungai Cisedane yang secara fisik memiliki kapasitas penampang lebih besar (mendekati 1.700 m3/detik). Ya, semoga ini dapat pula menjadi solusi.

- Raymond Valiant Ruritan (artikel 2014)

Komentar

  1. Ijin share u/ edukasi publik, ya Pak

    BalasHapus
    Balasan
    1. sdh saya posting di sini: https://www.facebook.com/groups/303669743123028/permalink/398081267015208/

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Solo Valleiwerken: Mega Proyek Zaman Hindia Belanda

Arca Ganesha di Karangkates: Pertarungan Kebijakan Pengetahuan dan Keliaran Manusia

Antonio Mario Blanco dan Ni Ronji