Corona Virus dari Wuhan hingga Zaman Kalathida dari Ranggawarsita

Kehidupan manusia tak bisa dipisahkan dari bencana, sebagaimana tidak ada peradaban yang bebas dari wabah penyakit. Demikian pula tidak ada penyakit yang menjadi wabah dengan sendirinya, sama seperti bencana senantiasa merupakan resultan dari berbagai penyebab yang bergabung secara tak sengaja (coincidence) maupun terencana (default).

Kita secara bersama-sama menyaksikan wabah corona virus dari Wuhan (2019-nCov) merebak sejak akhir Desember 2019 dan menyebabkan radang paru-paru (pneumonia) akut di Tiongkok dan telah berpindah ke lebih dari 16 negara hingga saat ini. Laporan berbagai sumber memastikan sekitar 7.700 orang terkonfirmasi terjangkiti penyakit ini (29/01/2020). Sebanyak 259 orang diantaranya meninggal. Angka itu menunjukkan 2019-nCov tingkat fatalitasnya rendah (3,3%). 
Evakuasi pasien terinfeksi 2019-nCov di Hubei, Tiongkok (29/01/2020)
Angka kematian ini di bawah tingkat fatalitas serangan virus serupa pada 2002-2004 yang diberi nama Severe Acute Respiratory Syndrome atau SARS. Wabah ini merenggut 774 jiwa dari 8.098 kasus yang dilaporkan (9%). Angka kematian akibat 2019-nCov juga jauh di bawah tingkat fatalitas virus Middle East Respiratory Syndrome (MERS) yang antara tahun 2012-2018 merenggut 858 jiwa dari 2.494 kasus yang dilaporkan (30%). MERS bermula dari Saudi Arabia dan menyebar khususnya ke sebagian besar kawasan Timur Tengah.
Pada Jumat 31 Januari 2020, organisasi kesehatan sedunia World Health Organization (WHO) telah menyatakan wabah penyakit pernapasan akibat 2019-nCov ini sebagai PHEIC (public health emergency of international concern). Keadaan darurat tidak hanya berlaku di wilayah Republik Rakyat Tiongkok, namun juga di negara-negara lain yang telah memiliki penderita.
Ada argumen konspiratif yang berkembang bahwa 2019-nCov merupakan semacam senjata biologi yang termasuk pemusnah massal, terlepas ke lingkungan entah disengaja ataupun tidak. Apalagi di Wuhan terdapat fasilitas penelitian bioteknologi yang melibatkan setidaknya delapan perusahaan besar dunia di bidang obat-obatan, vaksin dan serum. Namun, mengenai argumen ini, saya tidak akan bahas saat ini.
Meskipun spekulasi selalu menarik, 2019-nCov lebih mungkin muncul secara alamiah dipicu beragam faktor yang saling berkoalisi. Menurut saya perkembangan berbagai wabah penyakit di dunia (modern) disebabkan oleh tiga faktor: kepadatan penduduk, pergerakan manusia yang semakin massif dan perubahan iklim.
Pertama-tama, kita bisa belajar dari SARS pada 2002-2004 dan penyebaran 2019-nCov bahwa kepadatan penduduk yang sangat tinggi di Tiongkok, mendorong evolusi virus melalui proses mutasi genetik dan perubahan iklim. Untuk kejadian SARS dan 2019-nCov tampak bahwa penduduk dengan kepadatan tinggi memberikan breeding grounds yang baik untuk mutasi genetik pada virus yang semula hidup di tubuh hewan sehingga dapat hidup serta menginfeksi manusia. Mutasi genetik juga yang menyebabkan penularan virus yang semula berinang di hewan menjadi virus yang dapat menginfeksi antar manusia.
Selain kepadatan penduduk, kita dapat melihat bahwa pergerakan manusia secara massif juga menjadi penyebab dari persebaran wabah penyakit. Sejak kematian massal di Eropa akibat wabah sampar pada abad pertengahan di Eropa hingga pandemi flu pada 1918-1920, manusia selalu menjadi pembawa penyakit dalam pergerakannya. Semakin cepat pergerakan masyarakat maka semakin cepat penyebaran penyakit.
Wabah “kematian hitam” pada tahun 1340-1400 menewaskan sepertiga penduduk Eropa, akibat penyakit sampar. Penyakit ini masuk ke Eropa akibat perdagangan dengan Asia melalui Jalur Sutra yang menghubungkan Asia Tengah dengan benua ini. Sejarawan Arab, Ibnu al-Wardi dan al-Maghrizi mencatat wabah ini berawal dari kawasan dekat Mongolia. Penelitian menunjukkan wabah ini dimulai pada 1346 di kawasan steppe sekitar Laut Kaspia. Sehingga merunut dari rangkaian ini, dapat disimpulkan perlu 4-5 tahun wabah sampar ini masuk dari Asia Tengah ke Eropa.
Lukisan Pieter Bruegel Sr yang terinspirasi petaka sampar di Eropa pada Abad Pertengahan
Waktu yang lebih pendek diperlukan epidemi flu untuk merebak pada 1918-1920 di berbagai penjuru dunia, dengan korban jiwa mendekati 50 juta jiwa. Berdasarkan beberapa penelitian sejarah, penyakit flu ini diidentifikasi secara serempak di Perancis, Austria dan Amerika Serikat pada tahun 1917. Akibat pergerakan manusia yang lebih cepat dan meluas, khususnya menjelang akhir Perang Dunia Pertama, maka dalam waktu kurang dari setahun, wabah flu meluas di seluruh dunia karena berpindah bersama-sama penumpang kapal uap dan kereta api.
Persebaran flu itu pun sampai di Hindia Belanda. Catatan dari jawatan kesehatan Hindia Belanda menunjukkan pada 1918 virus flu ini masuk di bagian timur Sumatera, tentunya melalui jalur perniagaan dengan kapal uap. Pada saat itu, semua kapal uap yang datang melalui Selat Malaka bersandar dulu di bagian timur Sumatera untuk mengisi air dan bahan bakar. Akibatnya, kematian akibat persebaran flu ini di Indonesia menghebat. Laporan resmi menunjukkan kematian akibat flu ini dicatat sebanyak 1.227.121 dan 930.095 pada 1918 dan 1919, turun menjadi 764.316 dan 815.268 pada 1920 dan 1921. Peneliti Siddharta Candra (2013) mencatat kematian akibat flu di Hindia Belanda mencapai 4,25 juta jiwa. Dampak penyakit flu yang meluas di dunia ini pula yang melatarbelakangi pendirian merk "Jamu Jago" pada tahun 1918 ketika seorang Tionghoa bernama Phoa Tjong Kwan mulai menjual ramuan obat untuk meredakan sakit akibat infeksi virus flu.
Suasana bangsal pengobatan di rumah sakit Batavia awal 1920-an
Dalam kasus SARS yang merebak pada 2002-2004 dan 2019-nCov (2019-2020), tampaknya hanya diperlukan hitungan hari untuk penyakit ini bergerak menyebar ke segenap penjuru dunia. Ini pengaruh dari tinggi dan cepatnya perpindahan manusia pada abad ini: termasuk penerbangan yang memudahkan manusia berpindah tempat dalam hitungan waktu pendek.
Kembali kepada penyebab wabah, selain pergerakan manusia, perubahan iklim ikut menjadi pendorong dari persebaran berbagai penyakit.
Panil internasional untuk perubahan iklim menunjukkan kenaikan suhu udara antara 0,1° sampai 0,3° Celcius tiap dekade antara tahun 1990 sampai 2005 dan akan berkembang sampai memiliki rata-rata kenaikan 0,2°C decade antara 2005-2025. Kenaikan ini menurut riset dari WHO mempercepat persebaran demam berdarah yang diakibatkan virus dengue di kawasan tropis. Kenaikan suhu udara akibat pemanasan global membuat permukaan air menjadi lebih hangat sehingga memudahkan larva nyamuk Aedes spp menetas menjadi jentik, yang selanjutnya mengakibatkan bertambahnya pembawa (vector) dari virus dengue ini.
Saat ini, di kawasan tropis menjadi rentan terkena wabah demam berdarah; Indonesia dilaporkan sebagai negara ke-2 dengan kasus demam berdarah terbesar diantara 30 negara wilayah endemis. Tingkat kematian akibat demam berdarah di negeri ini mencapai lebih dari 1.200-an kasus saban tahun. Virus lain yang dibawa nyamuk Aedes spp, dan turut meluas sehingga menjadi wabah adalah zika. Pada 2013-2014, virus ini sempat menjadi wabah di sekeliling Asia Pasifik yang tidak dapat dipisahkan dari perubahan iklim sebagai pendorong meluasnya nyamuk Aedes spp sebagai inang pembawa virus zika.
Ada contoh lain terkait itu, yang terjadi kurang lebih dua abad silam dan wabah itu turut melanda Indonesia sehingga mengubah jalannya sejarah. Itulah wabah kolera. Wabah ini disebabkan oleh bakteri kolera yang semula endemik di lembah Sungai Gangga (India), namun akibat letusan Gunung Tambora 1815 mengubah jalan cerita persebaran penyakit ini. Dampak dari letusan yang sangat dahsyat itu menurunkan suhu udara rata-rata permukaan bumi hingga 0,7ยบ Celcius di bawah normal dan perubahan ini menyebabkan bakteri kolera dapat bergerak ke kawasan yang dahulunya lebih hangat.
Lembah Sungai Gangga terletak di kawasan subtropis sehingga mengalami pendinginan lebih dulu, dan anomali suhu ini mengubah perilaku bakteri kolera, karena mereka dapat bermigrasi ke kawasan tropis yang kini mendingin. Pada 1817 penyakit yang semula endemik di sekitar Sungai Gangga mulai menjalar keluar melalui beras yang dipanen dari lembah tersebut. Setahun berikutnya praktis seluruh India sudah terjangkiti dan tiga tahun kemudian, kolera mulai menjangkiti daerah-daerah di Thailand. Hanya dalam empat tahun, wabah kolera sudah melanda kawasan yang sangat luas yang dibatasi pulau Jawa di sisi timur, Oman di sisi barat dan Tiongkok di titik paling utara.
Amukan wabah kolera di pulau Jawa menerjang tanpa ampun. Puncak wabah pada bulan Ramadhan 1236 H (Mei-Juni 1821). Wabah dimulai dari Semarang – yang saat itu memiliki pelabuhan terbesar di Jawa – dan akhirnya bergentayangan ke segenap penjuru. Mulai dari Batavia (Jakarta) di sebelah barat hingga Surabaya di sebelah timur. Korban jiwa yang direnggutnya sungguh tak terperi.
Vaksinasi kolera di pedesaan Jawa pada tahun 1920-an
Setelah kematian akibat kolera meluas (bahkan di Surabaya tercatat hampir 110.000 jiwa melayang) pecahlah Perang Jawa (1825-1830) yang menyebabkan korban jiwa cukup besar. Menurut catatan, hampir seperempat penduduk Yogyakarta meninggal sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari perang ini. Setelah kolera reda, muncul wabah typhus abdominalis pada 1846-1847, dan semakin membuat rakyat di Jawa merasa berada di zaman kalathida (zaman kegelapan).
Kegagalan pertanian akibat penerapan cultuurstelsel oleh Pemerintah Hindia Belanda (1830-1856) disertai kemiskinan yang meluas di Jawa, kian menguatkan harapan akan hadirnya sang mesias bagi Pulau Jawa. Berbagai karya sastra dari pertengahan abad ke 19 membawa pesan dan harapan akan datangnya Ratu Adil, sebagai penyelamat rakyat. Salahsatunya dituliskan pujangga Jawa terkenal, Ranggawarsita, dalam kisahnya berjudul: Serat Kalathida (1860). Meskipun dianggap sebagai kritik kepada aristokrasi Jawa yang lalim, tulisan Ranggawarsita adalah karya sastra yang dapat ditelusuri konteksnya sampai ke persebaran wabah penyakit di Jawa.

Raymond Valiant (2020)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Solo Valleiwerken: Mega Proyek Zaman Hindia Belanda

Arca Ganesha di Karangkates: Pertarungan Kebijakan Pengetahuan dan Keliaran Manusia

Antonio Mario Blanco dan Ni Ronji