Permainan Bambu Gila

Sebuah atraksi yang berakar pada kepercayaan dinamisme masyarakat asli Maluku. 

Suatu sore pada tahun 1978 di Pantai Natsepa, Suli, Ambon. Untuk menandai dimulainya musim memetik hasil laut dan bumi (buka sasi), diadakan perayaan di tepi pantai. Ibu saya memotret permainan bambu gila dengan kamera manual, memakai film “Sakura” yang pigmen-nya memiliki tint cenderung ke arah warna merah setelah lama disimpan.
Sampai saat ini, saya belum menemukan sumber sejarah yang dapat menjelaskan dengan memadai asal-usul atraksi bambu gila. Kendati demikian, diyakini permainan ini telah ada di kepulauan rempah itu sebelum agama samawi (Islam ataupun Kristen) dikenal. 
Diduga permainan yang disebut baramasewel ini, berasal dari tradisi dinamisme yang dianut masyarakat Maluku. Permainan ini berpusat pada sepotong bambu, yang uniknya diberi nama bambu suanggi (hantu). Panjangnya sekitar 4 meter, dipotong menjadi tujuh ruas, di mana tiap-tiap potongan ruasnya dipegang oleh seorang pemain. Seluruhnya ada tujuh pemain, dengan seorang pawang.
Batang bambu tersebut didekap pemain di dada masing-masing seerat mungkin. Pawang menyalakan kemenyan dalam tempurung kelapa dan “mengisi” ruas bambu tadi dengan asap. Musik pun dimainkan dari tabuhan gendang (tifa) dan gong (buang). Dalam hitungan menit saja, bambu itu akan bergerak sendiri tanpa mampu dikendalikan oleh ketujuh pemain yang memegangnya.
Bambu itu dapat bergerak turun, naik, berputar, bahkan dalam banyak kejadian mengangkat pemain sehingga kaki mereka tak menyentuh tanah. Semakin cepat tabuhan tifa dan gong maka semakin “lincah” gerakan bambu tersebut.
Permainan berakhir saat pawang menuntaskan gerakan bambu. Para pemain yang kelelahan, bisa kehilangan kesadaran, karena intensitas tenaga yang dicurahkan untuk mempertahankan gerak bambu karena sepanjang permainan mereka tidak dapat melepaskan tangannya dari bambu tadi. Setelah permainan dihentikan, dan para pemain melepaskan tangan dari bambu, pawang akan memberi makan “bambu” tadi dengan sedikit api untuk menenteramkan “roh” yang menggerakkan.
Sebagaimana di banyak kebudayaan Asia Tenggara, pengaruh animisme dan dinamisme cukup kuat tertanam di masyarakat tradisional. Sebagai kelompok berdarah maleanesia, orang Maluku acap menganggap alam ini sebagai kesatuan kosmik dengan kehidupannya. Tak heran jika laut, pantai, gunung dan hutan, diakrabi dengan pendekatan harmonis.
Minim penganut kepercayaan tradisi di Maluku saat ini mungkin diakibatkan interaksi dengan pedagang Arab sejak awal abad ke 14 dan kemudian Eropa sejak abad ke 16 yang menyebabkan kepulauan ini cepat memeluk agama-agama samawi serta memungut kebiasaan baru. Pulau Seram saat ini masih memiliki beberapa desa dengan penganut kepercayaan tradisi bernama Nualu yang jumlahnya hanya sekian ratus orang saja.






Raymond Valiant (2020)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Solo Valleiwerken: Mega Proyek Zaman Hindia Belanda

Arca Ganesha di Karangkates: Pertarungan Kebijakan Pengetahuan dan Keliaran Manusia

Antonio Mario Blanco dan Ni Ronji