Bung Karno, Marhaen dan Kemandirian Sosial

Tidak ada yang tahu dengan sebenarnya, apakah pernah terjadi pertemuan antara Bung Karno dengan petani bernama Marhaen. Jika pun ada, maka selain Tuhan hanya Bung Karno –demikian nama Proklamator Republik Indonesia ini akrab dipanggil– dan petani kecil itu yang mengetahui.


Tentu saja banyak pihak mempertanyakan kebenaran pertemuan itu, apakah pertemuan itu hanya rekaan? Tidak ada jawaban pasti.

Namun sejauh yang kita ketahui, Bung Karno bertutur dalam buku “Di bawah Bendera Revolusi” mengenai peristiwa ini. Pertemuan ini terjadi di Cigereleng, Bandung Selatan, yang saat itu merupakan kawasan pertanian. 

Beliau menemui seorang petani yang menggarap sawahnya dan menanyakan kepemilikan dan hasil dari sawah itu. Jika kita membayangkan tanah Pasundan di sekitar Bandung pada akhir tahun 1920-an dan awal 1930-an, maka Marhaen adalah pelaku pertanian subsisten. Mereka tidak berkuasa atas kapital, selain daripada dirinya sendiri dan alat produksinya.

Di tepi sawah, Bung Karno berdiri termenung, menatap petani yang bersikeras terus dan terus mengayunkan cangkul mengolah tanah. Sejenak, beliau mendekat ke arah petani tadi. 

Saya membayangkan, ketika melihat seseorang menghampiri, tentu petani tadi menghentikan kegiatannya, dan menatap ke arah Bung Karno. Saya yakin keduanya bertemu tanpa curiga, tanpa rasa heran.

“Sampurasan, saha nu kagungan ieu sadayana nu dipidamel ayeuna ku aranjeun,” tanya Bung Karno dalam Bahasa Sunda. Artinya kira-kira, “Salam, siapa yang punya semua dan apa yang sedang engkau kerjakan sekarang?”

“Kuring, juragan,” jawab petani itu. (Milik saya, juragan!)

(Selain Bahasa Indonesia, Jawa dan Sunda, Bung Karno menguasai setidaknya empat bahasa asing lain, beliau seorang polyglot.)

Bung Karno lalu bertanya kembali, “Apakah engkau memiliki tanah ini bersama orang lain?”

“Oooh, tidak. Saya sendiri yang memilikinya, juragan.”

“Apa ini tanah pembelianmu?”

“Tidak. Ini warisan leluhur saya ke para anak, turun-temurun.”

Sejenak Bung Karno terdiam. Petani ini kembali bekerja. Ia menggali dan menggali. Sedangkan Sang Proklamator pun menggali. Beliau menggali teori. 

Ada sebuah kegelisahan dalam benaknya. Beberapa waktu sebelumnya, beliau mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Sebagai partai yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, beliau mencari-cari dasar bagi perjuangan itu.

Mencangkul. Menggali. Berkelebat deretan filosofi di otaknya tentang pemikiran sosial ekonomi dunia. Akhirnya, beliau pun menyampaikan pertanyaan-pertanyaan lain: “Bagaimana dengan cangkulmu? Apakah ini kepunyaanmu juga?”

Petani itu kembali menghentikan kegiatan, dan menjawab, “Muhun, juragan.” (Ya, juragan!)

“Bajak?”

“Milik saya, juragan.”

“Untuk siapa hasil yang pekerjaanmu ini?”

“Untuk saya, juragan.”

“Apakah cukup untuk kebutuhanmu?”

Petani itu mengangkat alisnya, lalu mengernyitkan dahi… 

“Kumaha ieu tegalan tiasa ngadukung pamajikan sareng anak kuring opat?” (Bagaimana ladang ini bisa mencukupi istri saya dan empat anak?)

“Apakah ada yang dijual dari hasilmu?”

“Hasilnya sekadar untuk makan kami, tidak ada kelebihan untuk dijual.”

“Apakah kamu mempekerjakan orang lain?”

“Tidak, juragan. Saya tidak mampu membayar tenaga kerja.”

“Apakah engkau pernah menjadi buruh bagi petani lain?”

“Tidak, juragan. Saya harus kerja keras namun jerih payah itu untuk saya, istri dan anak.”

Bung Karno lantas menunjuk sebuah gubuk kecil di dekat sawah itu seraya bertanya, “Siapa yang punya rumah itu?”

“Itu gubuk saya, juragan. Gubuk kecil milik saya sendiri.”

“Jadi,” kata Bung Karno usai bersibuk dengan pikiranya sendiri, “Apakah semua ini milikmu?”

“Muhun, juragan.” (Ya, juragan!)

Bung Karno kemudian beranjak, sebelum pergi ia menanyakan nama petani itu. Petani petani itu menjawab, “Marhaen.”

Pada 1932, PNI resmi menyebut Marhaenisme sebagai ideologi partai. Bung Karno merumuskan ideologi ini sebagai hasil pertemuannya dengan seorang petani yang dianggap mewakili kekuatan mendasar, atau grondkracht, dari Bangsa Indonesia.

Kekuatan itu adalah kemandirian secara sosial. Marhaen adalah representasi dari apa yang disebut para pemikir sosial di kemudian hari sebagai dialektika materialisme. Marhaenisme adalah kritik atas kekuatan kapital, yang diwujudnyatakan dalam kemandirian, self sustaining.

Bertahun-tahun kemudian, Bung Karno menjadi Proklamator Kemerdekaan, kemudian Presiden Republik Indonesia. Beliau mencita-citakan Indonesia yang mandiri, bebas dari tindasan kapital, Indonesia yang (saat itu) miskin namun berdaulat. Indonesia yang diwariskan dari leluhur sebagai sebuah kesatuan milik bangsa.

Beliau mencapai puncak kepemimpinan sebagai Bapak Bangsa sebelum dimakzulkan dan akhirnya wafat, pada tanggal ini, 21 Juni dalam kesunyian.

Salam hormat Bung, teriring doa untukmu. Juga kepada Marhaen. Jika ada ladang di seberang sana, kalian pasti telah bercengkerama di tepinya.

Komentar

  1. Selamat pagi mas, tulisan yang menarik. Izin untuk menuliskannya kembali di akun fb saya ya.

    Oiya, barusan saya add fb mas, kiranya berkenan di approve ya.

    Terimakasih.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Solo Valleiwerken: Mega Proyek Zaman Hindia Belanda

Arca Ganesha di Karangkates: Pertarungan Kebijakan Pengetahuan dan Keliaran Manusia

Antonio Mario Blanco dan Ni Ronji