Silaturahmi ke Pintu Air Kuro
Siang itu di tengah terik matahari, kendaraan yang saya tumpangi beringsut meniti jalan kampung yang sempit di pinggiran Kabupaten Lamongan. Penanggalan menunjukkan Senin Wage 3 Mei 2021 M bertepatan dengan 21 Ramadhan 1442 H.
Sebelah kanan dari jalan yang saya titi, mengalir Sungai Blawi, salahsatu anak dari Bengawan Solo yang merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa. Saya bersama rombongan berada di bagian hilir sungai ini, tak terlalu jauh dari muara ke Laut Jawa.
Tepat di sebuah kelokan, pada ujung jalan penghabisan di tepi kampung, rombongan berhenti dan tepat di depan saya terdapat Pintu Air Kuro. Inilah bangunan pengendali banjir paling hilir di Bengawan Solo. Bangunan yang mengingatkan kita akan kapsul di mana waktu terhenti.
Pintu ini dibangun pada 1902, untuk mengurangi genangan di sebuah area di tepi Bengawan Solo yang rutin terendam air karena lebih rendah dari sekitarnya. Pintu ini mengatur agar Sungai Blawi yang mengeringkan daerah tergenang ini dapat mengalir ke Bengawan Solo di musim kemarau, dan menahan Bengawan Solo bilamana muka airnya lebih tinggi agar tidak mengalir balik ke Sungai Blawi pada musim hujan.
Bengawan Solo memang unik. Akibat angkutan sedimen dari hulu, terbentuk sebuah dataran hasil pengendapan yang luas di hilir. Bagian hilir ini menjadi daerah subur, namun sering digenangi banjir.
Kian ke arah muara, sungai ini diapit oleh beberapa daerah lebih rendah yang disebut depression zone dan lazim terisi air sehingga berwujud rawa atau paya, seperti Rawa Jabung (luas 5.450 ha), Semando (1.660 ha) dan Bengawan Jero (10.950 ha). Pintu Air Kuro adalah pengendali dari aliran keluar dan masuk Bengawan Jero ini.
Sebenarnya, sejak 1852, Pemerintah Hindia Belanda tertarik mengembangkan bagian hilir Bengawan Solo setelah melihat luas dan suburnya lahan yang berpotensi untuk dijadikan kawasan pertanian di lembah itu.
Departemen Pekerjaan Umum Hindia Belanda, atau Burgerlijke Openbare-werkingen (BOW) menyiapkan konsep awal pengembangan Bengawan Solo. Pada 1881 rencana itu berkembang menjadi sebuah mega-proyek yang dikenal sebagai Solo Valleiwerken di bawah seorang waterstaat ingenieur bernama J. L. Pierson.Mega-proyek ini merupakan perencanaan rasional yang luar biasa untuk memanfaatkan potensi Bengawan Solo. Sebuah bendung direncanakan di Ngluwak dekat Bojonegoro, untuk mengantarkan air melalui saluran irigasi primer sepanjang 137 km. Potensi air ini dapat memperbaiki pola tanam dan memperluas lahan pertanian di bagian hilir Bengawan Solo. Selain itu, muara Sungai Bengawan Solo pun akan dipindah, dari semula di sisi barat sehingga mengalir langsung ke Selat Madura menjadi ke Laut Jawa di sisi utara. Rencana pengembangan irigasi memakai potensi air seluas 223.000 bouw (158.000 ha).
Sayang sekali, karena meningkatnya ongkos pembangunan, maka pada 1901 Menteri Jajahan dari Kerajaan Belanda J. Th. Cremer memerintahkan Direktur Jenderal Pengairan pada Indische Waterstaat, J. E. de Meyier, menghentikan seluruh pekerjaan ini. Walau berakhir, namun beberapa upaya melanjutkan rencana ini masih berjalan, walaupun tidak besar.
Salahsatunya, adalah upaya menyusutkan genangan di Bengawan Jero yang sudah lama sekali menimbulkan kesulitan bagi masyarakat, dan telah lama diperhatikan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Tahun 1902, dibangunlah Pintu Air Kuro bersama-sama tanggul yang mengapit sisi kanan dan kiri Sungai Blawi. Pintu air ini memiliki bentuk berbeda dari lainnya, karena serupa pintu rumah yang dapat dibuka (Bahasa Jawa: kupu tarung). Model pintu semacam ini mengingatkan saya pada pintu kanal-kanal kecil di Delft, Belanda.
Para perancang sistem pematusan Bengawan Jero adalah para waterstaat ingenieurs W. Elenbaas dan A. H. Saltet.
Model pintu yang disebut schut sluis dalam Bahasa Belanda ini, dibuat untuk memudahkan pergerakan kapal-kapal kecil dari hulu ke hilir. Di antara schut sluis di hulu dan hilir, ada sebuah caisson, di mana kapal dapat dihentikan menunggu muka air di sungai menyesuaikan ketinggian.
Pintu air berbentuk kupu tarung. |
Pintu pembilas (keer sluis) Pintu Air Kuro (1908) |
Sebelah kanan dari pintu utama Kuro, terdapat saluran pembilas, yang tidak memakai pintu air dengan model “kupu tarung” namun berupa pintu air tegak biasa. Nandar, salah seorang mantri air yang bekerja di tempat itu, mencatat pintu air yang disebut keer sluis dalam Bahasa Belanda, diselesaikan pada 1908.
Sekitar tahun 1980-an, pintu air di Kuro ini telah diganti oleh pintu baru, karena besinya mengalami pengeroposan akibat karat. Hal ini bisa dimaklumi, air di sisi hilir Kuro memang payau akibat pengaruh pasang surut di muara.
Ya allah bapak ini pintar sekali sih...wawasan nya luas sekali...seluas hamparan air yg ditelusuri beliau...salut pisan
BalasHapus