Postingan

Menampilkan postingan dari 2024

Bubuksah dan Gagang Aking

Gambar
Kisah dua pertapa yang diuji pencarian makna kehidupannya. Kisah ini adalah bagian dari khazanah spiritual Jawa yang dilukiskan pada panil di beberapa candi, melambangkan esensi di atas dogma. Ada dua pertapa bernama Bubuksah dan Gagang Aking. Keduanya mendapat ujian dari langit dengan turun ke bumi untuk menjalani ujian kehidupan.  Setelah diturunkan ke bumi, Bubuksah mencoba mensyukuri setiap nikmat yang ada. Ia tetap makan dan minum, menikmati keindahan, dan bersuka cita dalam kehidupan sehingga badannya menjadi gemuk dan berisi.  Gagang Aking sebaliknya menempuh jalan berbeda. Ia menjalani laku hidup prihatin dan memilih untuk tak mengumbar selera badani dan hawa nafsu. Akibat kehidupan asketik, tubuhnya pun menjadi kurus, sehingga mirip jerami kering ( gagang aking ). Tiba waktunya menguji pencapaian keduanya melaksanakan tapa. Seekor harimau yang merupakan jelmaan Kalawijaya diutus untuk menguji keduanya. Harimau mendatangi Gagang Aking dan bermaksud memakannya. Namun ditolak sec

Air yang Memakmurkan Kerajaan

Gambar
Akhirnya, Raden Mas Said memperoleh yang diinginkan. Tatkala ia membubuhkan namanya pada Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1757, Hamengkubuwono I dan Pakubuwono III harus merelakan sebagian wilayah kekuasaannya untuk diberikan kepada Said.  Said memperoleh sebagian kekuasaan atas sisa Kesultanan Mataram yang sebelumnya dibagi kedua saudaranya itu. Perjanjian Salatiga adalah babak akhir keruntuhan Kesultanan Mataram yang bertikai sejak Sultan Agung Hanyokrokusumo wafat pada 1645. Jawa adalah medan pertikaian kerabat dekat dalam naungan garis Dinasti Mataram. Daerah yang diberikan kepada Said mencakup Kabupaten Karanganyar dan Wonogiri, serta Ngawen, di Yogyakarta. Sisa-sisa Kesultanan Mataram pun resmi dibagi menjadi tiga. Perjanjian itu juga mengangkat Said sebagai Pangeran Miji yang berkedudukan setara raja, meskipun tak boleh memiliki tahta (dampar kencana) dan lambang kerajaan seperti pohon beringin (Ficus benjamin) kembar di halaman istana. Ia ditahbiskan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran