Air yang Memakmurkan Kerajaan

Akhirnya, Raden Mas Said memperoleh yang diinginkan. Tatkala ia membubuhkan namanya pada Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1757, Hamengkubuwono I dan Pakubuwono III harus merelakan sebagian wilayah kekuasaannya untuk diberikan kepada Said. 

Said memperoleh sebagian kekuasaan atas sisa Kesultanan Mataram yang sebelumnya dibagi kedua saudaranya itu. Perjanjian Salatiga adalah babak akhir keruntuhan Kesultanan Mataram yang bertikai sejak Sultan Agung Hanyokrokusumo wafat pada 1645. Jawa adalah medan pertikaian kerabat dekat dalam naungan garis Dinasti Mataram.

Daerah yang diberikan kepada Said mencakup Kabupaten Karanganyar dan Wonogiri, serta Ngawen, di Yogyakarta. Sisa-sisa Kesultanan Mataram pun resmi dibagi menjadi tiga.

Perjanjian itu juga mengangkat Said sebagai Pangeran Miji yang berkedudukan setara raja, meskipun tak boleh memiliki tahta (dampar kencana) dan lambang kerajaan seperti pohon beringin (Ficus benjamin) kembar di halaman istana. Ia ditahbiskan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Arya Mangkunegara, yang kemudian disebut Mangkunegara.

Sebagaimana Kesultanan Mataram, para penguasa mempertahankan kekuasaan dengan mengelola sumber daya terpenting dari kerajaan di Jawa, yakni: rakyat petani. Para petani inilah yang mengolah lahan, menghasilkan panen, membayar pajak, dan menyediakan tenaga untuk kerja bakti serta menjadi milisi yang mempertahankan kedaulatan.

Gambar 1: Panorama Bendungan Tirtomarto

Ketika Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan undang-undang pada tahun 1870 yang mengizinkan penanaman modal di berbagai bidang, kesempatan ini tak disia-siakan para penguasa daerah vorstenlanden tersebut. Dinasti Mangkunegara dan Hamengkubuwono menjadi kekuatan feodal pertama yang merangkul liberalisme.

Bermodal lahan dan rakyat, para penguasa pun masuk dalam bisnis perkebunan. Pada awal abad ke 20 Masehi, Mangkunegara punya saham pada dua pabrik gula bernama Tjolomadoe dan Tasikmadoe, usaha perkebunan kopi dan teh di Kemuning, pabrik pengolah serat nanas di Mojogedang, pengolahan gula batu (kandijsuiker) di Wonogiri dan bisnis perkayuan di Alas Kethu, Wonogiri.

Tentu saja, industri ini menyebabkan kerajaan harus menanamkan investasi dalam berbagai utilitas publik, seperti jalan, transportasi dan irigasi. 

Atas saran Residen Surakarta, Sollewijn Gelpke, pada 1919 muncul pemikiran dari Pangeran Adipati Arya (PAA) Prangwadono yang kelak diberi gelar Mangkunegara VII untuk membangun sebuah bendungan. Ia bercita-cita memperkuat bisnis perkebunan. Bangunan tadi akan menyediakan irigasi untuk lahan yang dikelola Mangkunegara untuk konsesi tebu.

Perencanaan dan pembangunan bendungan ini diserahkan kepada F. E. Wolff, seorang juru gambar yang diperbantukan pada Mangkunegara. Pada 11 Oktober 1920, Prangwadono meletakkan batu pertama dari bendungan yang dibangun di Delingan, Kabupaten Karanganyar ini. Hadir juga J. G. Numans, kepala Waterstaatdienst (Jawatan Pengairan) setempat.

Gambar 2: Peresmian pada Desember 1923 (arsip Mangkunegara)

Bangunan berbentuk timbunan melingkar dengan panjang hampir 1 km setinggi hampir 18 m membendung Sungai Jirak. Tampungan dari bendungan ini sekitar 4 juta m kubik. Meski daerah tangkapan air di bagian hulu dari bendungan hanya 12 km persegi, namun karena curah hujan yang baik sepanjang musim hujan maka tampungan ini dapat terisi 4 sampai 5 kali dalam setahun.

Manfaat irigasi yang diberikan bendungan ini mampu mengairi lahan seluas 17.000 bahu, di mana 12.400 bahu merupakan perkebunan tebu milik PG Tjolomadoe yang sahamnya dimiliki Mangkunegara dan sisanya adalah lahan pertanian di bawah vorstenlanden. Tak heran jika biaya pembangunan bendungan sebesar 614.000 gulden, ditanggung ¾ oleh konsorsium PG Tjolomadoe dan ¼ oleh Mangkunegara.

Gambar 3: Prangwadono yang kelak menjadi Mangkunegara VII

Bendungan ini diselesaikan Desember 1923 dan diresmikan oleh Prangwadono yang kini telah bergelar Mangkunegara VII. Sebuah prasasti batu beraksara Jawa menabalkan peresmian bendungan dengan nama Tirtomarto ini. Siang itu saya menyempatkan diri melihat dari dekat prasasti itu.

Gambar 4: Prasasti penanda Bendungan Tirtomarto

Nama Tirtomarto berasal dari kata “tirto” berarti air, “marto” bermakna merata, mengisyaratkan maksud Mangkunegara membagi air, tentu untuk kemakmuran kerajaan juga. Tak pelak, harian De Indische Courant, 13 Desember 1929 menyebut Tirtomarto sebagai “air yang memakmurkan.” Demikianlah, air itu akhirnya memakmurkan, tentu kerajaan, dan bersamanya, rakyat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Solo Valleiwerken: Mega Proyek Zaman Hindia Belanda

Arca Ganesha di Karangkates: Pertarungan Kebijakan Pengetahuan dan Keliaran Manusia

Antonio Mario Blanco dan Ni Ronji