Bubuksah dan Gagang Aking
Kisah dua pertapa yang diuji pencarian makna kehidupannya. Kisah ini adalah bagian dari khazanah spiritual Jawa yang dilukiskan pada panil di beberapa candi, melambangkan esensi di atas dogma.
Ada dua pertapa bernama Bubuksah dan Gagang Aking. Keduanya mendapat ujian dari langit dengan turun ke bumi untuk menjalani ujian kehidupan.
Setelah diturunkan ke bumi, Bubuksah mencoba mensyukuri setiap nikmat yang ada. Ia tetap makan dan minum, menikmati keindahan, dan bersuka cita dalam kehidupan sehingga badannya menjadi gemuk dan berisi.
Gagang Aking sebaliknya menempuh jalan berbeda. Ia menjalani laku hidup prihatin dan memilih untuk tak mengumbar selera badani dan hawa nafsu. Akibat kehidupan asketik, tubuhnya pun menjadi kurus, sehingga mirip jerami kering (gagang aking).
Tiba waktunya menguji pencapaian keduanya melaksanakan tapa. Seekor harimau yang merupakan jelmaan Kalawijaya diutus untuk menguji keduanya. Harimau mendatangi Gagang Aking dan bermaksud memakannya. Namun ditolak secara halus oleh Gagang Aking. Tak ada daging yang bisa dimakan dari tubuhku yang mirip buluh kering, kata Gagang Aking.
Panil dari adegan Bubuksah naik ke Nirwana di atas punggung Kalawijaya sebagai harimau dengan Gagang Aking memegang ekornya (Candi Palah atau Penataran, 11 Juni 2023)
Penjelmaan Kalawijaya pun pergi dan menemui Bubuksah, lantas mengutarakan maksud yang sama. Ia justru dengan sukarela menyerahkan tubuhnya untuk menjadi santapan harimau.
Mendengar jawaban Bubuksah, Kalawijaya kembali pada wujud aslinya. Ia mengatakan Bubuksah lulus ujian pertapaan dan diperkenankan kembali ke Nirwana. Namun, Bubuksah menolak karena tak mungkin meninggalkan Gagang Aking. Kalawijaya harus berpikir keras menemukan solusi masalah ini.
Singkat cerita, kedua pertapa ini bisa kembali ke Nirwana, Bubuksah naik di atas punggung Kalawijaya dan Gagang Aking diperkenankan untuk berpegangan pada ekornya.
Secara bijak, nenek moyang kita telah mewariskan nilai luhur dari kisah ini yang terpahat pada salah satu panil Candi Palah (Penataran) di Blitar. Panil ini bercerita kesetiaan, tentang bakti, juga keikhlasan.
Jika panil ini diyakini bagian dari candi semasa Majapahit berkuasa (1293–1527) maka kisah ini bagian dari penceritaan ulang dua tradisi besar keagamaan di kerajaan itu. Bubuksah adalah representasi dari tantrisme dengan pendekatan pancamakara, sedangkan Gagah Aking adalah pendekatan ortodoks keagamaan yang bertarak dan bertirakat.
Inti dari kisah ini sebenarnya sebuah pesan, hidup yang slamet itu adalah upaya menjaga kesetiaan pada hal yang benar, terlepas bagaimana caranya, baik orangnya kurus atau gemuk, bertapa atau bersenang-senang. Kunci utama menjalani ujian kehidupan adalah tulus pada kebenaran.
Bubuksah dan Gagah Aking mewakili pandangan kosmologis orang Jawa bahwa tidak "jalan" yang absolut. Keselamatan itu universal dan dihasilkan karena manusia menemukan kebenaran di dalam dirinya. Entah apa agama, keyakinan atau sektenya.
Komentar
Posting Komentar