Postingan

Bubuksah dan Gagang Aking

Gambar
Kisah dua pertapa yang diuji pencarian makna kehidupannya. Kisah ini adalah bagian dari khazanah spiritual Jawa yang dilukiskan pada panil di beberapa candi, melambangkan esensi di atas dogma. Ada dua pertapa bernama Bubuksah dan Gagang Aking. Keduanya mendapat ujian dari langit dengan turun ke bumi untuk menjalani ujian kehidupan.  Setelah diturunkan ke bumi, Bubuksah mencoba mensyukuri setiap nikmat yang ada. Ia tetap makan dan minum, menikmati keindahan, dan bersuka cita dalam kehidupan sehingga badannya menjadi gemuk dan berisi.  Gagang Aking sebaliknya menempuh jalan berbeda. Ia menjalani laku hidup prihatin dan memilih untuk tak mengumbar selera badani dan hawa nafsu. Akibat kehidupan asketik, tubuhnya pun menjadi kurus, sehingga mirip jerami kering ( gagang aking ). Tiba waktunya menguji pencapaian keduanya melaksanakan tapa. Seekor harimau yang merupakan jelmaan Kalawijaya diutus untuk menguji keduanya. Harimau mendatangi Gagang Aking dan bermaksud memakannya. Namun ditolak sec

Air yang Memakmurkan Kerajaan

Gambar
Akhirnya, Raden Mas Said memperoleh yang diinginkan. Tatkala ia membubuhkan namanya pada Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1757, Hamengkubuwono I dan Pakubuwono III harus merelakan sebagian wilayah kekuasaannya untuk diberikan kepada Said.  Said memperoleh sebagian kekuasaan atas sisa Kesultanan Mataram yang sebelumnya dibagi kedua saudaranya itu. Perjanjian Salatiga adalah babak akhir keruntuhan Kesultanan Mataram yang bertikai sejak Sultan Agung Hanyokrokusumo wafat pada 1645. Jawa adalah medan pertikaian kerabat dekat dalam naungan garis Dinasti Mataram. Daerah yang diberikan kepada Said mencakup Kabupaten Karanganyar dan Wonogiri, serta Ngawen, di Yogyakarta. Sisa-sisa Kesultanan Mataram pun resmi dibagi menjadi tiga. Perjanjian itu juga mengangkat Said sebagai Pangeran Miji yang berkedudukan setara raja, meskipun tak boleh memiliki tahta (dampar kencana) dan lambang kerajaan seperti pohon beringin (Ficus benjamin) kembar di halaman istana. Ia ditahbiskan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran

Situs Batu Tangga: Sisa-sisa Punden Berundak

Gambar
Kurang lebih satu jam perjalanan darat dari Bondowoso, terdapat sebuah situs megalitik yang (barangkali) tak banyak dikenal bernama Batu Tangga. Situs ini terletak di Dusun Binong Desa Plalaran Kecamatan Sumbermalang Kabupaten Situbondo. Para pendaki gunung lazim melewatinya, karena jalan di depan situs ini adalah salah satu rute pendakian ke Gunung Argopuro. Letak situs ini sekitar 7 km di bawah pos Hyang Timur Baderan yang dioperasikan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) yang menjadi titik awal pendakian. Tidak banyak yang diketahui mengenai situs ini. Menilik letaknya sejalan dengan jalur pendakian ke Gunung Argopuro dan keberadaan situs lain yang lebih besar dan penting bernama Rengganis di dekat puncak gunung tersebut, maka patut diduga Batu Tangga ini merupakan bagian dari suatu sistem pemujaan yang dianut nenek moyang. Kunjungan Junghuhn pada tahun 1844, Zollinger (1846) dan Verbeek (1891) ke Gunung Argopuro dan Hyang memberi informasi peninggalan di Rengganis yang memilik

Percakapan dengan Batu dari Masa Lalu

Gambar
Jawa Timur adalah salah satu dari empat lokasi di Indonesia yang menyimpan kekayaan arkeologis berwujud aneka konfigurasi batu, bersama-sama Sumatera Selatan, Jawa Barat dan Sulawesi Tengah. Peninggalan ini diwariskan nenek-moyang kita, ketika mereka bergerak menetap di khatulistiwa melalui proses migrasi yang panjang, dimulai hampir satu setengah milinea sebelum Masehi hingga beberapa abad setelah penanggalan Masehi dimulai. Situs megalitik di Jawa Timur tersebar secara relatif memusat di sekitar Situbondo, Bondowoso dan Banyuwangi. Peninggalan itu berwujud batu penutup kubur ( dolmen ), batu tegak ( menhir ) dan kubur batu ( sarcophagus ) tersebar di puluhan titik yang secara topografis dapat dihubungkan menjadi garis kontur penanda bahwa komunitas-komunitas penyusun batu ini mengikuti suatu pola perburuan dan perladangan tertentu sesuai ekosistem setempat. Sejumlah peneliti menggunakan pendekatan dari Stein-Callenfels (1934) dan Heine-Geldern (1945) menempatkan peninggalan-peninggal

Kiai Abisai Ditotruno

Gambar
Kang dumunung ana ing Sastroné Allah kang asipat gesang, yaiku kang ngasto uripku lan uripmu sarta uripé wong sajagad kabeh, kang ora arah ora enggon, kang ora dunung, iya ora dumunung, kang adoh tanpa wangênan, kang cèdhak tanpa sesenggolan, kèsépak ora kèsandung, ora rumangsani, sakjabané rerasan lan sakjroné rerasan.   [Dalam Firman Allah terdapat keselamatan, untuk hidupku dan hidupmu serta hidup semua orang, yang tanpa arah tanpa tempat, yang tidak tahu, tidak akan tahu, jauh namun tidak dirindukan, dekat namun tidak bersentuhan, tertendang namun bukan sandungan, tidak diketahui, baik di dalam maupun di luar perasaan.]  Sore itu, suatu hari Minggu di bulan September 2022, kalimat-kalimat dari ajaran bernama “toya wening” (air bening) seakan terngiang kembali. Saat itu saya berada di Mojowarno, sebuah kecamatan di Kabupaten Jombang yang sejak pertengahan abad ke 19 Masehi telah memiliki beberapa desa dengan populasi orang Jawa beragama Kristen.  Gambar 1: Kondisi makam Kiai Abisai

Batu Penanda Paceklik di Sungai

Gambar
Seiring perubahan cuaca di Eropa bagian barat pada tahun 2022 ini, beberapa sungai surut alirannya dan kekeringan mulai melanda. Akibatnya beberapa “batu paceklik” terlihat di sejumlah sungai di Cekoslovakia dan Jerman. Batu-batu alami di sungai ini ditandai goresan (petroglif) yang menunjukkan muka air terendah pernah terjadi. Salah satunya di Sungai Elba di Decin, perbatasan Jerman-Cekoslovakia, berangka tahun 1661 menulis: “Weine, wenn du mich siehst” atau “menangislah jika kau melihatku.” Petroglif ini menyampaikan pesan suram agar generasi mendatang memahami penderitaan (kelaparan) akibat musim panas berkepanjangan tanpa hujan yang merusak pertanian. Beberapa batu mencatat kekeringan dari tahun 1746, 1790, 1841, 1868 dan 1921.

Makam Adam Smith "Bapak Kapitalisme"

Gambar
 “The property which every man has in his own labor is the original foundation of all other property, so it is the most sacred and inviolable.” Hari itu, tak hanya cuaca yang mendung, Eropa dan Amerika Serikat juga dilanda krisis seiring meningkatnya inflasi dan kian asimetrisnya perdagangan produk antar negara.  Alhasil, kemajuan kapitalisme di barat, terinspirasi oleh buku ini. Tetapi, belakangan tesis Adam Smith ini malah mendorong tumbuhnya persekutuan modal dari negara dan pengusaha, yang secara tragis memicu kolonialisme di Asia dan Amerika Selatan. Kalimat dari Adam Smith (1723–1790) filsuf dan pemikir politik terkemuka pada abad ke 18 Masehi, menghiasi sebuah batu andesit yang menjadi penutup makamnya di Edinburgh. Jika diterjemahkan, artinya: “Harta yang dimiliki setiap orang karena usahanya sendiri adalah dasar semua (bentuk) harta, sehingga inilah (hak) paling suci dan tidak dapat diganggu gugat.” Gambar 1: Plakat makam Adam Smith di Cannonball Kirkyard Gambar 2: Makam Adam