Kebudayaan dan Pengembangan Sumber Daya Air

Pengelolaan air selalu menjadi aspek integral dari pembentukan kebudayaan.

Saya mengutip pemikiran Terje Tvedt (2010) yang menyebut adanya tiga lapisan pengetahuan ketika kita membahas air sebagai suatu sistem dalam kehidupan manusia.
Lapisan pertama: air dalam wujud ragawi, di mana perilakunya berhubungan dengan kehidupan manusia. Dalam hal ini kita berhubungan dengan bentuk alamiah dari air (hujan, penguapan, debit limpasan dan lain sebagainya). Ilmu hidrologi dan hidrolika yang mempelajari daur air di alam beserta proses pengalirannya berada pada lapisan pengetahuan ini. Dalam batasan ini air menentukan manfaat dan dampak terhadap peradaban.
Lapisan kedua: adalah perubahan, intervensi atau tindakan yang dilakukan manusia terhadap air di alam. Baik itu pembangunan bendungan, saluran irigasi, embung atau apapun yang dapat mengatur/mengubah kondisi alamiah dari air. Melalui intervensi semacam ini, manusia membuat pilihan-pilihan ekonomi dan politik. Salah satu contoh terbesar di Asia Tenggara adalah Angkor di Kamboja. Penduduk Kamboja sejak abad 8 hingga 17 Masehi membangun sistem irigasi, penyimpanan air (baray) dan pematusan yang rumit di sekeliling Tonlé Sap yang merupakan danau air tawar terbesar di dalam daratan Indocina.
Lapisan ketiga: adalah pendekatan budaya terhadap air. Dalam sikap ini tergantung pengertian bagaimana manusia memaknai keberadaan sumber daya alam di sekelilingnya melalui sudut pandang spiritual (kerohanian) dan keimanan (reliji). Pengelolaan air pada lapisan pengetahuan ketiga ini didasarkan pada pemahaman manusia itu menyatu dengan alam, sehingga kebudayaan adalah integrasi antara manusia dan alam. Tradisi nenek moyang kita merawat mata air memberi penghormatan dengan sesaji, atau pesan luhur untuk tak mengencingi sumur adalah contohnya.
Persoalan masa kini adalah sudut pandang kita tentang air sebagai suatu sumber daya alam. Pandangan modern yang dipengaruhi agama-agama samawi, meyakini “alam itu wajib ditundukkan” demi kepentingan manusia.
Alhasil, air pun dilihat sebagai sebuah sumber daya alam yang layak dieksploitasi, dan apabila dalam keterbatasan menjadi layak diperebutkan/dipertengkarkan.
Bila sesuatu benda tersedia dalam jumlah terbatas maka konflik kepentingan akan muncul. Keterbatasan akan menentukan nilai benda itu. Inilah teori pengelolaan sumber daya alam menurut David Ricardo (1817). Sehingga, untuk membuat air terkelola baik diperlukan keterlibatan berbagai pihak untuk mengelola kepentingan-kepentingan agar sumber daya itu dapat dinikmati secara adil.
Pendekatan partisipatoris tersebut bukan sesuatu baru. Suatu rencana akan dianggap terbaik oleh para pemangku kepentingan bila dihayati baik untuk semua kepentingan. Demikian pula dalam mengurus air, semua pemangku kepentingan harus dilibatkan dari awal hingga akhir. Ini bukan hal yang asing bagi masyarakat di Indonesia. Sebagai bangsa yang dilahirkan, dibesarkan dan mati bersama air, bangsa ini sudah memaknai sejak dulu pentingnya unsur ini. Bertalian dengan air, setiap orang adalah pemangku kepentingan.
Sejarah mencatat, prakarsa perantau dari suku-bangsa Austronesia 10.000-5.000 tahun silam ke Indonesia setelah masa glasial terakhir, yang bekerjasama membangun teras-teras beririgasi bagi pengolahan sawah, merupakan permulaan peradaban agraris di Jawa dan Sumatera. Peradaban utama di Indonesia sebagian besar didirikan dengan memperhitungkan air sebagai faktor kritis. Budaya Pertanian di lahan basah adalah penanda utama. Sungai-sungai besar di berbagai penjuru Indonesia merupakan tempat pilihan untuk bermukim. Walau demikian untuk dapat bekerjasama dan membangun peradaban berbasis pertanian lahan basah (padi), membangun irigasi dan mengendalikan banjir, Karl Wittfogel (1957) mendalilkan diperlukan hirarki sosial yang berjenjang.
Antropolog Jerman itu menyebutnya sebagai “kebudayaan hidrolik” yang bersandar pada suatu sistem despotik (kekuasaan yang kukuh). Artinya, untuk menjadi komunitas yang maju dalam bertani diperlukan pemimpin/tokoh hebat (bahkan mungkin tiran) untuk membangun sistem pengairan dengan menggerakan suatu birokrasi serta memobilisasi rakyat sebagai tenaga kerjanya.Hal ini terlihat pada pembangunan irigasi dan pengendalian banjir di berbagai sungai di Asia Tenggara: mulai tonlé dan baray di Kamboja, hingga teras beririgasi di Jawa. Warisan dari sistem pertanian berteras dari zaman prasejarah Indonesia, dapat dilihat pada keindahan subak di Bali, yang merupakan integrasi sistem pengairan dengan pemerintahan adat.
Saya berpendapat, di Indonesia pengelolaan air untuk pengendalian banjir dan keperluan Irigasi bagi pertanian memang berangkat dari terbentuknya kekuasaan pada berbagai kerajaan mula-mula. 
Prasasti Tugu dari Kerajaan Tarumanegara
Bukti pertama, setidaknya ditemukan pada Prasasti Tugu di Cilincing, Jakarta Utara. Dikisahkan dalam prasasti berangka tahun 682 Masehi sebuah saluran digali ke arah laut dan diberi nama Chandrabhaga. Ahli filologi Poerbatjaraka (1951) menyatakan Kota Bekasi berasal dari kata Chandrabhaga, nama sungai sepanjang 12 kilometer yang direhabilitasi Raja Tarumanagara bernama Purnawarman tersebut. Kata “Chandrabhaga” dibagi menjadi dua: chandra berarti “bulan” dan bhaga berarti “bahagia”. Kata chandra (Sanskerta) sama dengan kata “sasi” (Jawa Kuno), sehingga Chandrabaga bisa dibaca Sasibhaga, yang apabila diterjemahkan secara terbalik menjadi Bhagasasi (Bekasi).
Sungai Bekasi (dulu disebut Gomati) kini sudah berubah. Oleh karena tata bahasa Sansekerta dapat membalik susunan kata tanpa merubah makna, kita bisa mengenalinya sebagai sungai yang pernah dibangun Purnawarman.
Sungai Bekasi masa kini, yang pernah digali Raja Purnawarman pada abad 7 Masehi.
Kembali ke pokok semula, bagaimana seorang tokoh (pemimpin) berkuasa memimpin rakyat membangun sistem pengairan, kita mesti melihat bukti lain di Jawa Timur, yakni Prasasti Harinjing di Pare.
Bagian ketiga Harinjing (927 Masehi) ditulis masa pemerintahan Raja Tulodong dari Mataram Kuno, menyebut penggalian sebuah sistem Irigasi yang terdiri atas bendung atau tanggul dan dilengkapi saluran oleh masyarakat di Sungai Srinjing dipimpin Bhagawanta Bhari. Oleh karena perbuatan yang mulia ini penduduk di daerah tersebut dibebaskan dari pajak oleh Raja Mataram Kuno.
Ketokohan Bhagawanta Bhari seperti Purnawarman dalam Prasasti Tugu, membuktikan dalil Wittfogel, diperlukan seorang pemimpin “visioner” yang sanggup bersikap tiran/despotik untuk mampu mengarahkan birokrasi “menekan” rakyat membangun sistem pengairan.
Semasa itu, tercatat pula pembangunan sistem Irigasi di Sungai Pikatan, Gunung Welirang, atau Prasasti Sarangan semasa Mpu Sindok (929 Masehi) atau Prasasti Brangkalan dari rakryan di Mangibil (934 Masehi) yang menyebut upaya membangun di bawah para pemimpin pada masa tersebut. Masa klasik kerajaan di Indonesia ditandai pengembangan Irigasi dan pengendalian banjir di bawah kekuasaan yang tersentralisasi, mirip di Kamboja, Thailand dan Myanmar.
Prasasti Harinjing dari masa Mataraman Kuno (Medang).

Kolonialisme Eropa menimbulkan sedikit pergeseran dan bawa pengelolaan air melalui tahapan baru. Setelah sebagian besar Nusantara dijajah dalam rentang awal abad ke 18 hingga 20, pengelolaan air di Indonesia mengalami sentuhan teknologi lebih intensif. Pemerintah Hindia Belanda berperan dalam mengembangkan budaya hidrolik dengan memperkenalkan berbagai intervensi teknologi dalam pengelolaan air, baik dengan pembangunan bendung, saluran irigasi, sistem pematusan, pelayanan air bersih dan lain sebagainya.
Tujuan pengembangan ini tidak dapat dilepaskan dari politik balas budi Pemerintah Hindia Belanda setelah pada 1899 seorang ahli hukum bernama Conrad Th. van Deventer menulis dalam majalah De Gids sebuah artikel terkenal berjudul Een Eereschuld atau “Hutang Budi.” Artikel yang ditulis berdasar pengamatannya di Hindia Belanda tentang ketimpangan akibat penerapan sistem tanam paksa (atau cultuurstelsel) mengkritik secara tajam kekejaman sosial-politik dan kemiskinan rakyat jajahan.
Meski tak mengakui secara terbuka penelitian Deventer, Gubernur Jenderal Idenburg saat itu menyetujui hasil penyelidikan yang berkesimpulan perlu dilakukan perbaikan sosial-ekonomi di Hindia Belanda. Untuk itu dan pada 1904, disediakan dana sebesar 40 jutaguilders untuk usaha rehabilitasi sosial di Jawa dan Madura. Dana ini dipergunakan mengembangkan Irigasi, pendidikan dan usaha kesehatan. Salah satu hasil pertama dari kebijakan rehabilitasi sosial ini adalah dibangunnya Irigasi teknis di Jawa Tengah dan Barat dilanjutkan hingga meliputi seluruh dataran aluvial yang subur di Tangerang, Cirebon, Banyumas, Pekalongan, Demak dan Jepara.
Gunungrowo adalah bendungan untuk keperluan irigasi pertama di Jawa Tengah yang diresmikan pada 1927. 
Selanjutnya untuk melindungi Jakarta dari banjir, dilakukan perluasan sistem pematusan untuk melengkapi Kanal Banjir Timur dipimpin ir Herman van Breen (1926). Irigasi dikembangkan untuk mendukung industri gula dan pertanian padi di Jawa, yang merupakan bagian dari pencapaian politik kesejahteraan (welvaart) Hindia Belanda hingga awal Perang Dunia II (1942).
Pengembangan irigasi secara meluas juga dilakukan di Jawa Timur, bertempat di Wilayah Sungai (WS) Brantas, selain di WS Pekalen-Sampean. Irigasi yang dibangun secara modern di WS Brantas, menghasilkan antara lain daerah irigasi teknis seluas 45.000 hektar.
Prisé d’eau (pengambilan air) di Sungai Brantas melayani irigasi teknis.
Perang Dunia II menempatkan Jepang sebagai penjajah. Sejumlah pekerjaan pengairan terhenti, kecuali beberapa ikhtiar yang dipandang penting untuk penyediaan pangan semacam pengeringan Tulungagung Selatan di Jawa Timur untuk reklamasi lahan pertanian. 
Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan sumberdaya air secara modern diawali rencana pengembangan oleh Dr ir Bloemmenstein (1948). Rencana ini mencakup pengembangan 17 sungai utama di Pulau Jawa, reklamasi Rawa Segaranakan di Jawa Barat, perbaikan pematusan di Jakarta, pengembangan irigasi teknis 517.000 hektar di Jawa dan pembangunan pembangkit l tenaga air di Citarum. Rencana ini lanjutan welvaart plan.
Dalam perkembangan, rencana ini disederhanakan sesuai kondisi Republik Indonesia. Pembangunan pembangkit listrik di Citarum (1953-1967) hasilkan waduk terbesar di Jawa: Jatiluhur (volume 2,97 miliar m³) disertai daerah irigasi seluas 100.000-an hektar. Adapun reklamasi Segara Anakan dibatalkan dan perbaikan pematusan Jakarta mencakup pembenahan Sungai Sekretaris dan Sungai Angke bersama polder Pluit sebagai kelengkapan Banjir Kanaal Barat yang ditinggalkan ir H van Breen.
Pada 1958, setelah banjir besar melanda Kediri, Jombang dan Mojokerto, Pemerintah Republik Indonesia memberi kesempatan kepada Kubota, pendiri konsultan Nippon Koei Jepang, untuk menjajaki kemungkinan menyusun rencana pengendalian banjir di Sungai Brantas.
Kubota pada tahun sama hasilkan laporan berjudul “Brantas Plan” yang menarik perhatian ir Soekarno, Presiden Pertama RI. Beliau lantas memasukkan rencana pembangunan bendungan dan perbaikan Sungai Brantas ke dalam proyek yang akan didanai pampasan perang Jepang. Presiden RI ir Soekarno memakai dana pampasan untuk mendanai 3 infrastruktur yakni Bendungan Selorejo dan Karangkates di Jawa Timur serta Riam Kanan di Kalimantan Selatan. Inilah transfer teknologi modern di rekayasa air.
Perencanaan untuk DAS Brantas dilanjutkan sehingga “Brantas Plan” menjadi rencana induk pertama (1961) di Indonesia yang menerapkan azas “satu sungai, satu rencana.”
Konsep ini merupakan integrasi hulu sampai hilir, dimulai pembangunan bendungan di bagian hulu untuk menyimpan air, bendung irigasi di bagian tengah untuk membagi air, dan pelepasan banjir di hilir. Intinya suatu rencana terpadu. Kondisi Indonesia dengan keragaman geografis memberi karakteristik tersendiri dalam proses pengembangan sumber daya air. Keragaman geografis berimplikasi teknologi yang diterapkan bisa mahal dan secara finansial akan membebani negara dengan investasi besar.
Kesimpulan saya: keberhasilan dalam pengelolaan air akan tercapai melalui pelbagai konflik, uji coba, keberhasilan atau kegagalan. Selalu terdapat hubungan erat antara kemelut politik, pembentukan kekuasaan, pilihan dari birokrasi, dan pengelolaan sumber daya ini. Manusia selalu berperan, dan pengelolaan air adalah ikhtiar manusia mengelola kelangkaan, yang menjadikan lapisan pengetahuan ketiga (pemahaman budaya) sebagai kemudi bagi pengelolaan sumber daya alam yang bestari dan lestari.

Raymond Valiant (2019)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Solo Valleiwerken: Mega Proyek Zaman Hindia Belanda

Arca Ganesha di Karangkates: Pertarungan Kebijakan Pengetahuan dan Keliaran Manusia

Antonio Mario Blanco dan Ni Ronji