Didik Mangkuprodjo, Tarzan sampai Kwartet S: Hadiah dari Malang untuk Indonesia
Humor adalah sebuah sumber energi. Melalui humor, manusia dapat tertawa, melepas ketegangan dan meringankan beban jiwa. Maka, tertawa sebenarnya adalah unsur yang sangat manusiawi. Penelitian antropogenik menunjukkan primata semacam kera dan monyet bisa mengekspresikan rasa senang, tetapi mereka tidak bisa tertawa.
Oleh karena itu, bekerja sebagai pelawak, yang tugas utamanya membuat orang tertawa, adalah pekerjaan yang mulia. Sebagai bagian dari Republik Indonesia, ternyata Malang juga menyumbangkan banyak pelawak untuk menghibur dan mengusir kemuraman hidup dari rakyat negeri ini.
Sebutlah beberapa nama penting, seperti Didik Mangkuprodjo (1938-2019), Tarzan alias Toto Muryadi (1946), Nurbuat (1949-2016), Eko DJ alias Eko Koeswoyo (1952-2017), Topan alias Muhammad Sugianto (1956), Leysus alias Sugeng Winarso (1959-2006) dan tak ketinggalan grup lawak terkenal Kwartet S.
Kwartet S didirikan oleh Djatikusumo (kelahiran 1945) mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, yang saat itu bekerja di Kantor Pembinaan Kebudayaan Kota Malang bersama rekan sefakultasnya Bambang Sumantri (1945), Bagio Kusno (1945) mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya dan Djoko Adjisworo (1940) pegawai Jawatan Penerangan Kota Malang. Mereka memulai karir dengan memenangkan Lombak Lawak se-Jawa Timur di Surabaya, Februari 1972.
Penampilan Grup Pelawak Kwartet S (1974) |
Kwartet ini bahkan sempat diramaikan kehadiran Soenardjo, pegawai Badan Penerangan Kabupaten Blitar. Namun oleh kesibukannya, ia mundur tahun 1973. Kelak Soenardjo menjadi politisi, dengan karir puncak sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Jawa Timur dari Partai Golongan Karya, dan menjabat Wakil Gubernur Jawa Timur (2003-2008). Anggota kwartet ini memang beberapa kali berganti formasi.
Keunikan Malang dalam menyumbang pelawak untuk Indonesia, boleh jadi berangkat dari kultur masyarakat di kawasan ini. Sikap setara (egaliter) dan bicara apa adanya adalah inspirasi para pelawak menggelitik syaraf geli dari pemirsanya. Tidak heran jika sebagian besar pelawak asal Malang berangkat dari latar belakang seni rakyat.
Nurbuat misalnya, memulai karirnya setelah lulus Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA). Pada 1970, ia bergabung dengan grup kesenian di Malang bernama Anoraga. Mula-mula perannya cuma jadi figuran. Setelah setahun, ia mulai dipercaya melawak. Kariernya menanjak naik ketika ditarik masuk Ludruk Wijaya Kusuma II, sebuah grup yang memainkan teater tradisi terkenal di Jawa Timur. Ia kemudian direkrut Grup Komedi Srimulat pada akhir tahun 1970-an, dan masuk ke orbit nasional.
Nurbuat sempat membentuk grup lawak bersama sejumlah rekannya dan relatif berhasil selepas Grup Komedi Srimulat meredup. Pada awal 2010 ia bahkan mengadakan pentas reuni Grup Komedi Srimulat yang telah bubar. Pelawak asal Malang ini wafat 2018 silam.
Nurbuat (1949-2016) |
Hampir sama pengan mendiang Nurbuat, pelawak Tarzan juga dibesarkan dari teater tradisional seperti ludruk. Ia bergabung dengan Grup Lawak Lokakarya tahun 1967, sebelum masuk Grup Komedi Srimulat pada Mei 1979. Dengan postur tubuh yang tergolong tinggi besar, di panggung Srimulat dia kerap memerankan profil kalangan atas seperti majikan, pejabat, atau bahkan jenderal.
Tarzan bertahan cukup lama dalam Grup Komedi Srimulat. Penampilan grup komedi ini di Televisi Republik Indonesia (TVRI) sepanjang rentang tahin 1980-an membawa Tarzan menjadi terkenal bersama-sama pelawak lain semasanya, seperti Doyok, Gepeng dan Kadir. Setelah Srimulat berkenti beroperasi pada pertengahan 1990-an, ia bertahan sebagai pemain sinetron di sejumlah televisi, tentu saja dengan peran yang lekat dengan kelucuan, bersama-sama salah seorang pelawak asal Malang bernama Eko Koeswoyo.
Toto Muryadi alias Tarzan |
Eko Koeswoyo lahir Malang pada 1952, perjalanan hidupnya sebagai pelawak dimulai setelah ia menekuni berbagai profesi, mulai guru, pembawa acara sampai penjual makanan, yang tidak memberi peruntungan dikehendaki. Pada usia cukup "tua" 34 tahun, ia akhirnya diterima Grup Komedi Srimulat yang beroperasi di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya. Dari sinilah ia menemukan profesi yang memberikan hasil.
Grup Komedi Srimulat sumpat bermain untuk sejumlah stasiun siaran televisi, dan untuk memenuhi tuntutan penampilan ini pada awal tahun 2000-an ia pindah ke Jakarta. Ia pun merubah nama panggungnya menjadi Eko DJ singkatan dari “Eko dari Jawa” sebagai sindiran atas kebiasaan sebagian orang di Ibukota Republik Indonesia ini memanggil orang yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan idiom “dari Jawa.”
Eko DJ melejit sebagai pemain sinetron dalam komedi populer semacam Jinny oh Jinny (1997-2002) beserta beberapa sequel lanjutan, mendampingi aktris Diana Pungky. Pada usia 65 tahun Eko DJ wafat di Jakarta (2016).
Eko Koeswoyo alias Eko DJ (1952-2017) |
Didik Mangkuprojo yang pernah menjadi guru di Jember ini, memilih menjadi seniman panggung tradisi tahun 1970 bersama grup sandiwara keliling sebelum masuk Srimulat tahun 1978 hingga 1990. Dia sempat menjadi dedengkot pelawak Grup Srimulat di Surabaya, bersama sejumlah nama yang sudah mendahului “lucu” seperti Asmuni, Rohana, dan Tarzan.
Latar belakang pelawak yang bernama Sunardi ini cukup panjang. Pelawak ini mengenyam pendidikan tinggi, pernah menjadi mahasiswa Universitas Tawangalun yang kini menjadi Universitas Jember, dan menamatkan pendidikan di sebuah akademi di Yogyakarta. Nama Didik sendiri diambil dari nama putranya, sedangkan Mangkuprojo adalah nama panggung yang dimaksudkan sebagai "mangku" yang artinya membimbing, dan "praja" yang mempunyai arti jati diri sebagai orang Jawa.
Sunardi alias Didik Mangkuprojo (1939-2019) |
Didik dikenal dengan kekhasannya, yakni menyisakan kuncung (segumpal rambut) di bagian atas kepala, yang pada saat bermain di pentas, diolesinya dengan pomade agar tampak berdiri seperti gaya rambut “mohawk” yang dianut para pemusik dari aliran punk. Di antara pelawak, Didik dikenal sebagai figur bijak dan hingga usia lanjut masih menjadi tempat para komedian muda menimba pengetahuna. Beliau wafat awal 2019 silam.
Seperti halnya mendiang Didik, pelawak Leysus yang lahir di Kepanjen, awalnya juga berkarier sebagai seorang guru seletas menamatkan Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Karir melawaknya dirintis di dunia komedi tradisional, yakni di Ketoprak Siswo Budoyo dari Tulungagung. Ia terjun ke dunia lawak lebih dulu, sebelum saudaranya, Topan menyusulnya pada tahun 1992.
Pasangan Leysus dan Topan cukup terkenal di lingkup penggemar seni budaya tradisional, semacam Ketoprak Siswo Budoyo, atau kesenian ludruk yang merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling bertahan di Jawa Timur. Sepanjang tahun 1990-an hingga awal 2000-an, pasangan Leysus dan Topan laris manis di berbagai tanggapan hiburan.
Pada galibnya, pelawak itu adalah manusia dengan talenta berupa kecerdasan verbal dan emosional. Humor tidak sebatas membawa orang tertawa, namun pada pelawak yang berkualitas, malah bertansformasi menjadi sarana pencerahan.
Sangat tidak tepat kalau ada yang mengartikan humor sebagai sekadar lucu-lucuan atau badut-badutan, sehingga para pelawak tugasnya adalah saling mengejek, menghina, menyindir agar orang tertawa. Televisi dan media sosial kita sekarang ditaburi “pelawak” yang berkedok pembawa acara, moderator atau penyaji parodi. Mereka berusaha melucu namun justru melecehkan akal dan tidak mencerahkan.
Boleh jadi kita harus belajar dari filsuf bernama Erasmus (1466-1536) yang menyodorkan sastra jenaka namun dengan cerdik melawan dogma-dogma yang dianggapnya mengekang manusia. Humor ketika itu, menjadi senjata ampuh untuk membebaskan manusia dari degradasi Abad Kegelapan. Erasmus tentu bukan pelawak, tapi situasi yang dihadapi lebih kurang sama.
Tidak berlebihan untuk mengatakan para pelawak masa kini berada pada masa yang sulit, karena berada di tengah-tengah “abad kegelapan informasi” (jika istilah ini tepat dipakai untuk menggambarkan situasi pasca-kebenaran) yang mencengkeram ruang publik. Ketika sedemikian banyak informasi yang sengaja dibuat untuk menyesatkan pikir dan menjauhkan kita dari kebenaran universal, rakyat menunggu lelucon yang mencerahkan dari para pelawak.
Raymond Valiant (2019)
Komentar
Posting Komentar