Bakso Khas Malang: Kudapan Resmi Republik

Banyak kudapan ringan yang dikenal di Indonesia. Namun, siapa warganegara Republik Indonesia yang belum pernah mendengar bakso? Bahkan, bakso akan menjadi salah satu suguhan bagi Presiden Amerika Serikat, Barack Obama jika beliau jadi bertandang ke Indonesia tahun 2010.

Kendati isinya nyaris sama, daging bercampur tepung yang dibentuk bulat dan disiram kuah kaldu, bakso memiliki banyak variasi. Bakso versi Solo terdiri dari bola daging dibubuhi irisan sayur dan bihun. Sedangkan bakso khas Yogyakarta hanya terdiri dari irisan tipis tahu dan bakso goreng yang disajikan bersama mi dan bihun berkuah. Sebaliknya, irisan tahu dan bakso goreng ini tak ada di sajian bakso khas Wonogiri. Sedangkan bakso khas Sunda malah mencampurkan tauge dalam kuahnya.

Di antara sedemikian banyak variasi, Kota Malang juga punya sajian khas bakso. Tidak ada yang dapat mengatakan sejak kapan bakso identik dengan kudapan khas Kota Malang. Selain ditambah variasi cacahan daging yang dibulatkan – disebut pentol kasar – bakso Malang juga mengenal tambahan sayur, bihun, mie, tahu, siomay bahkan lontong (nasi yang ditanak dalam daun pisang).

 Salah satu bakso legendaris Malang adalah Bakso Stasiun. Persis namanya, bakso ini bisa dinikmati di sebuah stan di sebelah selatan Stasiun Kereta Api Kota Baru Malang. Ada satu hal yang khas dari bakso yang dijual di sini, yakni siomai yang berisi rebung (bambu muda). Siomai ini merupakan salah satu ciri khas Bakso Stasiun – selain kualitas bakso dan kuahnya – yang membuatnya terkenal turun temurun hingga berbagai penjuru Indonesia.

Bakso Stasiun kini dikelola Bibit Mulyono yang mewarisi usaha ini dari ayahnya yang bernama Dulmanan. Alkisah, Dulmanan berjualan bakso sejak 1966. Pada mulanya dagangan itu dipikul keliling stasiun. Setelah tiga tahun, dia membuat gerobak dan berjualan di bawah pohon depan stasiun. Boleh dikatakan Dulmanan adalah pedagang bakso di Malang yang pertama kali menggunakan gerobak saat hampir seluruh pedagang bakso masih memakai pikulan. Pada 1970, Dulmanan menyewa stan yang ditempati hingga kini.

Bibit mewarisi resep bakso ayahnya. Termasuk siomai rebung andalan mereka. Dia juga tetap mempertahankan cara tradisional: memasak dengan arang.

Masih berkutat dengan resep dan ketekunan berjualan, ada bakso Malang lain yang tak kalah legendaris: Bakso President. Di sebuah gang kecil persis di sebelah Pertokoan Mitra II, sebelum rel kereta api, terdapat warung bambu Bakso President yang berukuran kurang lebih 60 meter persegi.
Bakso President ini berdiri tahun 1981. Pemiliknya adalah Abdul Ghoni Sugito. Awalnya dia berjualan dengan pikulan di depan Bioskop President yang sekarang jadi Pertokoan Mitra II. Nama lama bioskop itu ternyata mendatangkan hoki bagi Abdul. Nama President masih menempel di baksonya, kendati bioskopnya sendiri sudah tamat dan Indonesia telah berganti presiden beberapa kali.

Tawaran menu di Bakso President tergolong banyak. Selain bakso urat dan siomai, ada pula bakso tulang muda, bakso udang, dan jerohan sapi komplet. Selain itu masih ada tambahan lauk berupa paru sapi, usus ayam, hati ayam dan aneka gorengan. Selain bakso dengan ukuran biasa, ada juga bakso seukuran bola tenis. Saat ini Bakso President telah memiliki 8 outlet yang dikelola kerabat Abdul.
Hal menarik dari Bakso President adalah letak warungnya berdekatan dengan rel kereta api, sehingga pengunjung harus siap dikagetkan kereta api yang sewaktu-waktu lewat. Syukurlah, usaha Abdul tidak terganggu akibat goyangan kereta ini, malah berkat bakso khas Malang ini, sang pemilik dapat menunaikan ibadah haji.

Berbeda dengan bakso Malang pada umumnya, tidak semua sajian bisa dinikmati dengan cara tradisional, yakni disiram kuah kaldu. Bakso Kota Cak Man misalnya, menyajikan menu bakso bakar, yang disajikan tanpa kuah namun dengan saos dan sambal beraroma tajam. Persis satai, namun dari bahan bakso. Bakso bakar ini mulai dikenal awal tahun 2000. Bisa diduga, bakso Malang yang dibakar ini menggapai pasar remaja. Tak heran jika sebagian besar pengunjung Bakso Kota Cak Man adalah anak muda.

Jika kebetulan tinggal di ibu kota, tak risau, tak usahlah jauh-jauh ke Malang mencicipi bakso. Di Jakarta, bakso Malang yang berubah nama menjadi bakwan bisa disantap di banyak tempat. Dari kelas warung seperti bakwan Arema di daerah Kebayoran Lama, hingga tongkrongan a’la cafĂ© seperti Tee Box. Rasa bakwan dua kalangan ini mungkin sama, tapi harganya jelas beda.

Bakso Tee Box yang dimiliki Prayitno, bahkan pernah menjadi langganan Ibu Presiden Megawati Soekarnoputri. Asal-usulnya, Prayitno berjualan bakso di Pertokoan Mitra I Malang. Untuk memperbaiki nasib dia pun mengadu rezeki tahun 1998 dengan hijrah ke Jakarta. Sempat berjualan bakso (bakwan) di depan Kafe Tee Box milik pengusaha Setya Novanto, karena merasa cocok, dia akhirnya mendapat modal. Jadilah bakwan Malang bergabung dengan Tee Box.

Sebagian besar pedagang bakso masa kini sudah mampu memanfaatkan citra Malang sebagai brand image guna mempertajam value dari produknya. Generasi baru pedagang bakso sudah mampu mengemas produk mereka sebagai produk khas Malang. Bahkan, menerapkan standarisasi korporat sehingga produk bakso itu bahkan bisa di waralaba (franchise).

Bahkan, ketika berada di Manokwari, Papua Barat, tahun 2009 silam, secara tidak sengaja saya bertemu sebuah gerobak penjual makanan di pelabuhan. Tak ada yang menarik, kecuali tulisan dari cat merah muda pada badan gerobak bertuliskan dengan huruf besar: BAKSO MALANG ASLI.

Boleh jadi, kita semua pernah membaca tulisan demikian. Mulai dari Ciawi hingga Banyuwangi, dari Denpasar dan Makasar, entah dari tingkat gerobak dorong, tenda di kaki lima hingga stan tenant di pusat jajan supermall. Hanya saja di Manokwari, si penjual menambah identitas dagangannya dengan mengenakan kaos biru dengan tulisan AREMA (Arek Malang).

Ketika ditanya dari mana asalnya, pemuda yang membawa gerobak itu menyebut dengan bangga nama sebuah kecamatan di pelosok, dekat tepi pantai selatan Kabupaten Malang. Matanya pun berkaca-kaca ketika dia tahu saya juga berasal dari Malang. Hidup Bakso Malang!!!

Raymond Valiant (2010)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Solo Valleiwerken: Mega Proyek Zaman Hindia Belanda

Arca Ganesha di Karangkates: Pertarungan Kebijakan Pengetahuan dan Keliaran Manusia

Antonio Mario Blanco dan Ni Ronji