Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2014

Dari Micky Jaguar sampai Silvia Saartje: Pemusik Rock dari Malang

Gambar
Konon, pada tahun 1970 hingga awal 1990-an, Malang pernah disebut sebagai barometer musik Nusantara. Penonton musik di Malang, diakui berbagai grup musik memiliki antusiasme dan sikap kritis.  Micky Merkelbach alias Micky Jaguar (sumber: blog Remmy Soetansyah, 2010) Konon, jika sebuah grup musik berhasil tampil prima dan diterima pentasnya di kota dingin ini, maka kualitas penampilan mereka pasti dapat diterima masyarakat Nusantara. Sebaliknya bila tidak, jangan harap grup itu bertahan. Meskipun pernyataan itu tampak berlebihan, tapi Malang – sebagaimana halnya Jawa Timur, memang wilayah dalam khazanah kesenian yang sangat dinamis. Beberapa pemusik terkenal bangkit dari kota ini. Mereka pada zamannya mengangkat Malang ke peta musik Nusantara. Jauh sebelum teknologi terbeli, naluri untuk merangkai nada dan membesutnya sampai ke puncak, membuat mereka dikenal sebagai para perintis. Sebutlah nama Micky Markelbach (1950-1986), penyanyi rock blasteran Malang dan Jerman.

Banjir Dahsyat di Surakarta pada 24 Februari 1861

Gambar
Plakat penanda banjir (warna putih) terletak di sebelah kanan gerbang. Terjemahan dari Bahasa Belanda: (posisi) tertinggi air pada 24 Februari 1861 Tinggi plakat dari lantai dasar gerbang adalah 2 meter lebih. Tampak proporsional dari Gerbang Benteng Vastenburg di Surakarta Tidak banyak orang mau mengenang bencana. Sesuatu yang traumatis tentu tidak menyenangkan untuk diingat. Namun, catatan akan bencana juga penting sebab membawa kebijakan dalam membaca alam. Selain banjir besar yang pernah tercatat merendam Surakarta pada 13-14 Maret 1966, ternyata masih ada sebuah banjir lain yang lebih dahsyat menenggelamkan kota ini. Bekas banjir ini direkam pada gerbang Benteng Vastenburg. Benteng Vastenburg adalah  peninggalan Belanda yang terletak di kawasan Gladak, Surakarta. Benteng ini dibangun pada 1745 atas perintah Gubernur Jenderal Baron von Imhoff dan merupakan bagian dari pengawasan Belanda terhadap penguasa Surakarta. Itu sebab letaknya tak jauh dari

Letusan Gunung Kelud

Gambar
Situasi di Pintu Masuk Bendungan Selorejo 14 Pebruari 2014 (sumber: Fahmi Hidayat PJT-I) Debu vulkanik menutup area Bendungan Selorejo, 14 Pebruari 2014 (sumber: Fahmi Hidayat PJT-I) Tim tanggap darurat dari PJT-I di Bendungan Selorejo, 14 Pebruari 2014 (sumber: Fahmi Hidayat PJT-I) Debu vulkanik menutup area Bendungan Selorejo, 14 Pebruari 2014 (sumber: Fahmi Hidayat PJT-I) Situasi 14 Pebruari 2014 pagi di Jalan Raya Ngantang-Pujon (sumber: Fahmi Hidayat PJT-I) Kendaraan ditinggalkan di Bendungan Selorejo 14 Pebruari 2014 (sumber: Fahmi Hidayat PJT-I) Sepeda motor para pengungsi di Bendungan Selorejo (sumber: Fahmi Hidayat PJT-I) Sejak tahun 1000 Masehi, ledakan gunung ini sudah dicatat sejarah. Berbagai keajaiban dikaitkan dengan tanda alam yang dibawa Gunung Kelud. Konon, Hayam Wuruk - Raja Majapahit yang perkasa - lahir bertepatan dengan letusan gunung ini pada 1 334 Masehi. Bahkan suara menggelegar dari letusan di pagi hari itu dihubungkan dengan

Rajamala: Perahu Istimewa Kasunanan Surakarta

Gambar
Pada masa kejayaan Kasunanan Surakarta di Jawa pada abad ke 19, Sang Sultan berpesiar di Sungai Bengawan Solo menggunakan sebuah perahu istimewa.  Perahu yang diberi nama Rajamala, selain merupakan kendaraan raja, juga merupakan simbol Kasunanan Surakarta yang tak hanya menguasai tanah di lembah Bengawan Solo namun juga sungai itu sendiri.  Bila sungai meluap, perahu itupun dipakai raja untuk meninjau, membagi bantuan dan menghibur rakyat dengan antara lain menyalakan kembang api! Alkisah, pembuatan perahu Rajamala ini dilakukan setelah Raja Pakubuwana (PB) IV menerima pemberian perahu dari Herman Willem Daendels pada tahun 1809.  Perahu pemberian Gubernur Hindia Belanda ini dinamakan Rajapati.  Meskipun telah diberi perahu, pemberian ini tidak memuaskan hati Raja PB IV.  Dia ingin memiliki perahu sendiri dengan ukuran lebih besar dari Rajapati. Maka diperintahkan kepada putranya yang bernama KGPA Anom atau GRM Sugandhi untuk memimpin pembuatan perahu kerajaan yang baru. Pera

Pantai Sadeng: Muara Purba dari Sungai Bengawan Solo

Gambar
Seandainya bagian selatan Pulau Jawa tidak terangkat oleh kekuatan alam berjuta tahun lalu, maka almarhum Gesang – pencipta lagu keroncong terkenal berjudul Bengawan Solo – tidak akan pernah menulis syair lagunya seperti yang kita kenal sekarang. Alkisah, sungai terpanjang di Jawa ini dulunya tidak mengalir jauh ke utara seperti yang disyairkan Gesang, malah mengalir ke selatan, langsung bermuara ke Laut Selatan. Ihwalnya adalah pertemuan dari dua tubir lempeng tektonis – yang kita sebut dalam literatur geologi sebagai Lempeng Asia dan Australia. Tumbukan ini menyebabkan Lempeng Australia menghunjam ke bawah Pulau Jawa, mengakibatkan pulau ini pun perlahan-lahan terangkat di bagian selatan. Lembah yang dahulu merupakan alur aliran air Bengawan Solo Purba Peristiwa pengangkatan yang terjadi sekitar 4 juta tahun silam ini, telah merubah wajah Pulau Jawa. Sungai-sungai besar di Jawa, berubah mengalir ke utara karena di sebelah selatan tumbuh perlipatan akibat pertemuan tad