Rajamala: Perahu Istimewa Kasunanan Surakarta


Pada masa kejayaan Kasunanan Surakarta di Jawa pada abad ke 19, Sang Sultan berpesiar di Sungai Bengawan Solo menggunakan sebuah perahu istimewa.  Perahu yang diberi nama Rajamala, selain merupakan kendaraan raja, juga merupakan simbol Kasunanan Surakarta yang tak hanya menguasai tanah di lembah Bengawan Solo namun juga sungai itu sendiri.  Bila sungai meluap, perahu itupun dipakai raja untuk meninjau, membagi bantuan dan menghibur rakyat dengan antara lain menyalakan kembang api!

Alkisah, pembuatan perahu Rajamala ini dilakukan setelah Raja Pakubuwana (PB) IV menerima pemberian perahu dari Herman Willem Daendels pada tahun 1809.  Perahu pemberian Gubernur Hindia Belanda ini dinamakan Rajapati.  Meskipun telah diberi perahu, pemberian ini tidak memuaskan hati Raja PB IV.  Dia ingin memiliki perahu sendiri dengan ukuran lebih besar dari Rajapati.

Maka diperintahkan kepada putranya yang bernama KGPA Anom atau GRM Sugandhi untuk memimpin pembuatan perahu kerajaan yang baru. Perahu itu pun berhasil diselesaikan setelah kurang lebih 3 tahun, dengan ukuran panjang 59 meter dan lebar 6,5 meter.  Pada bagian ujung depan dan belakangnya dipasang patung kayu berupa kepala wayang Rajamala. Pembuatan perahu ini selesai pada Jumat Wage, 19 Juli 1811 (atau dalam penanggalan Jawa pada 27 Jumadilakhir Tahun Be 1738.

Nama Rajamala diambil dari kisah pewayangan di Kerajaan Kicakapura. Rajamala adalah nama dari telur kura-kura jelmaan Dewi Watari, seorang putri cantik yang menjadi pengawal Resi Indradewa.

Saat ini, perahu kerajaan tersebut sudah tak bersisa. Hanya sepenggal kepala perahu yang disebut canthik dalam Bahasa Jawa yang masih disimpan di Museum Radyapustaka, Solo.  Kepala perahu ini mengambil bentuk kepala hewan yang menyeramkan, terbuat dari kayu jati dari Hutan Danalaya – yang merupakan hutan milik Kasunanan Surakarta yang terkenal angker.

Pencucian (jamasan) dari kepala perahu Rajamala dilaksanakan di Solo, 31 Januari 2008 (sumber: Solo Pos)
Berbeda dengan anggapan bahwa kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah cenderung bersifat konsentris ke arah darat dan enggan menapak air, kejayaan Kasunanan Surakarta pada abad 19 tergambar dengan jelas melalui kesibukan para pedagang yang hilir mudik mengarungi Bengawan Solo dari Bandar Beton, Nusukan, Semanggi dan Maja di setiap musim penghujan.

Konon, terdapat lebih dari 24 perahu besar milik keraton yang kerap berlayar menuju Gresik melalui Sungai Bengawan Solo untuk mengangkut garam, beras dan kain.  Tidak terkecuali, perahu kerajaan milik PB IV, Rajamala, yang sesekali terlihat mengarungi Bengawan Solo.  Secara khusus, perahu ini digunakan untuk sarana jalan-jalan Kasunanan Surakarta dan untuk hajatan penting saja.  Hegemoni melalui simbol, seperti yang diuraikan Antonio Gramsci, memang menjadi tujuan dari pembuatan perahu ini.

Semasa PB IV (masa pemerintahan 1788-1820) memegang tampuk Keraton Kasunanan, ketika meminang seorang puteri Pamekasan, Madura, untuk dijadikan sebagai permaisuri, dia pun menggunakan perahu Rajamala untuk menjemput ke Bandar Gresik, melalui Sungai Bengawan Solo. 

Perjalanan semacam ini, melalui Sungai Bengawan Solo sampai ke muara, terakhir dialami Rajamala pada saat PB VII (masa pemerintahan 1830-1858) berangkat ke Madura juga, untuk melamar putri Sultan Cakraningrat dari Bangkalan, pada tahun 1865.

Bahkan lazim pada masa itu para kerabat keraton berpesta lumban (bermain air) menggunakan Rajamala. Perahu itu terakhir kali digunakan secara resmi oleh Raja PB IX (masa pemerintahan 1861-1939) pada acara klangenan di Pesanggrahan Langenharjo – yang kini terletak di pinggir Kabupaten Sukoharjo – pada 1871.

Walaupun demikian, perahu itu tidak hanya digunakan untuk acara melamar atau wisata air, Rajamala juga digunakan Kasunanan meninjau banjir. Pada abad ke 19, sebelum dibangun tanggul sekeliling Kota Solo yang diprakarsai dua kerajaan (Kasunanan dan Mangkunegara) dengan dana bantuan pemerintah kolonial Belanda, raja dapat berkeliling Kota Solo dengan Rajamala di kala banjir.

Dari atas perahu Rajamala itu, raja membagi-bagikan makanan kepada rakyatnya yang sedang tertimpa musibah banjir. Istilah pembagian bantuan bencana sebagai gambaran kemurahan hati raja kepada rakyatnya disebut udik-udik. Dalam tradisi pernikahan Jawa gaya Surakarta, udik-udik ini masih diperagakan dengan menyebar uang receh dan beras ke arah tamu.

Bahkan menurut cerita pada masa itu, sewaktu banjir akibat Bengawan Solo meluap, masyarakat justru menikmati keramaian pesta air.  Masyarakat tidak takut karena Kasunanan Surakarta telah mengantisipasi dampak banjir dengan membentuk badan yang mengurusi pelbagai keperluan, seperti juru silemjuru mudi dan juru pembelah – yang pada masa kini adalah sejenis tim search and rescue (SAR).

Konon - ada yang mengisahkan - dari atas perahu Rajamala, raja jugai mengadakan pesta kembang api sebagai hiburan bagi rakyat yang sedang terkena musibah banjir. Entah benar ataupun tidak. Rupanya pada zaman dulu, raja pun sudah tahu bagaimana membuat pencitraan.  Sesuatu usaha yang tidak hanya dimonopoli oleh pelaku zaman sekarang.

- Raymond Valiant Ruritan (artikel asli 2011)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arca Ganesha di Karangkates: Pertarungan Kebijakan Pengetahuan dan Keliaran Manusia

Solo Valleiwerken: Mega Proyek Zaman Hindia Belanda

Antonio Mario Blanco dan Ni Ronji