Solo Valleiwerken: Mega Proyek Zaman Hindia Belanda


Seandainya Menteri Jajahan Kerajaan Belanda, Cremer, tidak menghentikan proyek Solo Valleiwerken pada 1898 maka di Bengawan Solo boleh jadi kita sekarang memiliki sistem pengairan dan jaringan irigasi terbesar di Indonesia.

Semuanya berawal tahun 1852 ketika Pemerintah Hindia Belanda tertarik mengembangkan bagian hilir Sungai Bengawan Solo setelah melihat luas dan suburnya lahan pertanian yang dapat dibuka di lembah itu.  Untuk keperluan perencananan, ditugaskanlah seorang insinyur bernama A.A.V Lederboer yang mempersiapkan konsep awal untuk pengembangan wilayah sungai Bengawan Solo.

Mula-mula rencana Lederboer adalah membendung Kali Pacal – salah satu anak Sungai Bengawan Solo – untuk membangun suatu sistem irigasi di bagian hilir sungai ini yang mampu mengairi lahan seluas 70.000 bouw (setara 49.000 hektar).  Namun rencana ini ditinjau ulang pada 1870 oleh salah seorang teknokrat dari Departemen Pekerjaan Umum (Burgerlijke Openbare Werkingen disingkat BOW) bernama J. Walter.  Dia melihat bahwa pengambilan air dari anak sungai Bengawan Solo relatif beresiko, khususnya di musim kemarau.  Maka dia pun merubah konsep pengambilan air dari Kali Pacal menjadi suatu pengambilan air secara langsung dari Bengawan Solo.

Rencana ini mendapat tanggapan dari BOW, sehingga pada tahun 1881 ditugaskan J.L Pierson untuk menyusun rencana yang lebih rinci untuk pengembangan Bengawan Solo bagian hilir.  Insinyur lulusan Politeknik Delft, Belanda, ini lalu bekerja keras membuat sebuah rencana untuk sebuah mega proyek, yang dikenal sebagai Solo Valleiwerken.

Lukisan aquarel dari Sungai Bengawan Solo sekitar 1880 (sumber: KITLV Belanda)

Pertama-tama, konsep itu bermaksud memperbaiki muara Bengawan Solo.  Jika sebelumnya muara itu bercabang menjadi dua di dekat Sembayat, Gresik – di mana satu cabang mengalir ke utara dan berakhir di Laut Jawa (Tanjungkepala) dan satunya lagi menjadi Kali Miring yang bermuara di Selat Madura. Maka untuk mengendalikan banjir di hilir direncanakan sebuah "jalan pintas" bagi banjir agar segera mengalir ke laut.

Jalan pintas itu menurut rencana dibangun di Pelangwot berupa saluran pengendali banjir (floodway) yang mengalir ke utara menuju Laut Jawa di dekat Sedayulawas.  Saluran ini akan berakhir di Brondong, pantai utara Jawa.  Adapun Kali Miring selanjutnya dikendalikan dengan membangun sebuah bendung gerak di Sembayat.  Sedangkan muara Bengawan Solo yang semula berada di Tanjungkepala digeser sedikit ke utara di Ujungpangkah.

Kedua, di Desa Ngluwak yang terletak di Ngrahu, Bojonegoro, dibangun sebuah bendung yang mampu meninggikan air sekitar 8 meter dan membawanya melalui sebuah saluran primer sepanjang 165 km ke arah timur.  Saluran irigasi yang memiliki lebar dasar hampir 30 meter ini akan mengairi sawah seluas hampir 223.000 bouw (setara 158.000 hektar) dan bisa dilayari perahu-perahu kecil untuk transportasi perairan. Saluran primer ini sekaligus menyediakan sarana transportasi air yang dapat menjangkau wilayah sejauh Bojonegoro yang terletak di balik Gunung Kendeng.

Ketiga, direncanakan membangun sejumlah saluran sekunder sepanjang hampir 900 km, bangunan pembagi air, sifon dan jembatan, yang seluruhnya terbentang dari Ngluwak sampai ke Gresik.  Saluran sekunder ini akan mengairi lembah Bengawan Solo (yang disebut dalam Bahasa Belanda: Solo Vallei). Sebagai hasil dari rencana besar ini, diharapkan petani dapat menanam padi setidaknya 2 kali dalam setahun dan terhindar dari banjir yang kerap merusak kehidupan.

Peta rencana pekerjaan Solo Vallei pada 1892 (sumber: Ravesteijn, 1987)

Melalui rencana ini pula, sebuah wilayah yang kerap tenggelam di musim hujan bernama Bengawan Jero yang terletak diperbatasan Lamongan dan Gresik akan dapat tertangani.  Air yang terperangkap dapat dikendalikan dengan membangun sistem pematusan (drainase).

Untuk beberapa lama rencana ini dikaji tanpa keputusan dari BOW.  Pada tanggal 29 Oktober 1887, Residen Surabaya C.H.A van der Wijk menulis kepada Direktur BOW, melukiskan penderitaan masyarakat di wilayah Lamongan dan Gresik, akibat meluapnya Sungai Bengawan Solo. “Seringkali selama berbulan-bulan, orang harus hidup di atas rakit.  Mereka makan, tidur, memasak dan mengasuh anak-anak di atasnya.  Orang mati dan melahirkan di atas rakit, semata-mata karena air sungai tergenang tanpa dapat disurutkan.”

Surat ini menjadi salah satu peristiwa yang mendorong persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Hindia Belanda, atau yang disebut Volksraad, untuk menyetujui pembiayaan sebuah mega proyek untuk zaman itu yang bernama Solo Valleiwerken.

Seluruh rencana ini memakan ongkos 19 juta gulden.  Pada tahun 1892, dimulai pembangunan awal dari mahakarya pengairan di Hindia Belanda ini di bawah pimpin Pierson.  Pembebasan lahan dan penggalian saluran utama dimulai.  Pengadaan batu kapur dilakukan dengan memotong sejumlah gunung batu di perbatasan Tuban dan Bojonegoro.  Batu tadi lalu diangkut dengan kereta api.  Untuk menjalankan kereta ini dipergunakan kayu jati yang tersedia berlimpah di sekitar itu.

Sayang sekali, karena tidak didukung teknokrasi secara memadai serta berbagai kesulitan dalam pelaksanaan yang tidak terduga, manajemen dan biaya proyek ini menjadi tidak terkendali. Pada akhir 1897 Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk menghentikan mega proyek pengairan ini.  Pertimbangannya adalah pelaksanaan sudah memakan biaya 15 juta gulden saat itu, padahal bendung dan saluran yang direncanakan belum terbangun.

Meskipun tidak dikatakan gagal, namun de Meyier, Direktur Pekerjaan Umum yang baru segera menghentikan proyek ini. Melalui perdebatan panjang baik di Volksraad maupun secara internal di dalam tubuh Departemen Pekerjaan Umum, akhirnya Menteri Jajahan Kerajaan Belanda, Cremer secara resmi mengakhiri mega proyek Solo Valleiwerken. 

Pada saat pekerjaan itu dihentikan 1898 ditinggalkan lahan hasil pembebasan seluas hampir 120.000 ha, yang terbentang dari Bojonegoro, Lamongan, Tuban hingga Gresik sebagai rencana jalur saluran primer dan sistem irigasi.  Rencana bendung di Ngluwak ditinggalkan begitu saja, sehingga kini pondasinya pun habis terkikis.  Hanya sebagian saluran Pelangwot yang menuju ke laut dekat Sedayulawas yang sudah digali masih disisakan.  Bangunan dan bengkel di lapangan ditinggalkan hingga bertahun-tahun kemudian hancur.

Rel dan kereta api (decauville) yang dipergunakan mengangkut puluhan ribuan balok batu kapur dari Tuban ke Ngluwak, dibongkar. Rel dan kereta api itu kemudian dilego ke Jawatan Kereta Api (Javansche Stoomtram Maatschapij).  Peralatan konstruksi dialihkan ke Demak dan Pemali, di mana BOW masih melaksanakan pekerjaan lain.  Sebagian dilelang ke pabrik gula di sekitar pantai utara Jawa.

Pada pertengahan tahun 1960-an, setelah Republik Indonesia berdiri, barulah rencana pembangunan saluran pengendali banjir ini ditinjau kembali.  Studi oleh sejumlah konsultan menyimpulkan rencana Solo Valleiwerken adalah salah satu konsep pengairan terpadu – yang menggabungkan pengendalian banjir, pengolahan lahan dan pengembangan irigasi secara terpadu.

Pemisahan aliran di muara Bengawan Solo, akhirnya dilaksanakan.  Muara Bengawan Solo saat ini telah menjadi satu di Ujungpangkah.  Kali Miring pun dimatikan. Selanjutnya pada tahun 2001 dapat diselesaikan saluran pengendali  Pelangwot sehingga banjir di bagian hilir dapat sedikit lebih dikendalikan.  Demikian Bendung Bendung Gerak Babat telah dibangun sebagai salahsatu pengendali banjir secara cascading di bagian Bengawan Solo, melengkapi Bendung Gerak Sembayat yang akan segera dibangun.

Rencana dari Pierson memang hasil pemikiran yang matang. Sayang sekali, mega proyek ini salah dikelola sehingga akhirnya harus dihentikan. Jika tidak, barangkali kita sudah memiliki sistem pengairan yang lengkap di Jawa sejak seabad silam.

- Raymond Valiant Ruritan (artikel asli 2010)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arca Ganesha di Karangkates: Pertarungan Kebijakan Pengetahuan dan Keliaran Manusia

Antonio Mario Blanco dan Ni Ronji