Arca Ganesha di Karangkates: Pertarungan Kebijakan Pengetahuan dan Keliaran Manusia

Inilah satu-satunya arca di Indonesia yang menggambarkan Ganesha dalam posisi berdiri dengan membawa banyak lambang Tantra Bhairawa yang merupakan aliran pemujaan keliaran manusia.

Saya pertama kali bertemu arca Ganesha yang kontroversial ini  sekitar lima tahun silam, di tempatnya bersemayam, yakni di belakang kompleks perumahan Bendungan Karangkates di Kabupaten Malang. Pertemuan itu terjadi pada suatu siang menjelang tengah hari, ketika surya bersinar terik, dan saya berdiri beberapa langkah di depan patung yang menggambarkan putra dari Dewa Siwa dengan Dewi Parwati, dan dipanggil “Mbah Gajah” oleh masyarakat setempat.
Ada dua hal yang menarik perhatian saya. Pertama, Ganesha dipatungkan dalam keadaan berdiri, sementara sekian banyak penggambaran beliau, senantiasa digambarkan dalam keadaan duduk. Kedua, "Mbah Gajah" ini dipenuhi berbagai hiasan dari tengkorak manusia yang memberi kesan menakutkan.
Arca Ganesha itu secara keseluruhan berasal dari dua batu beku (andesite) yang disambung antara tubuh arca dengan lapik (landasan). Arca dalam posisi berdiri samabhangga dengan hiasan motif tengkorak berjumlah sembilan buah di atas lapik. Ganesha ini bermahkotakan untaian rambut disanggul ke atas (jatamuka) dengan berhias tengkorak dan bulan sabit (ardhacandrakapala). Tinggi arca ini hampir 3 meter.
Arca Ganesha di Karangkates (2017)
Sejarawan Suwardono dalam sebuah artikelnya tentang Arca Ganesha di Karangkates menuliskan detil arca. Suwardono memperkirakan arca ini dibuat pada masa Kerajaan Singasari (1222-1292), merujuk pada ikonograf atau ilmu arca, di mana ditemukan kesamaan antara arca di Karangkates ini dengan arca serupa di Candi Singasari yang sekarang disimpan di Leiden, Belanda. 
Kedua arca ini sama-sama menunjukkan adanya pengaruh tantra, dalam penggambaran Ganesha yang berada di atas lapik dari susunan tengkorak manusia. Patung dari Candi Singasari ini dipindahkan tahun 1819 ke Belanda, dan terbuat dari andesite juga.
Arca Ganesha yang disimpan di Leiden dengan ciri-ciri serupa dengan arca di Karangkates
Adapun terkait Ganesha yang berdiri, setidaknya ada 3 arca serupa yang diketahui pernah dipahat dalam keadaan tegak semacam itu di Indonesia, namun hanya dua yang diketahui pasti tempatnya: sebuah arca dari lereng Gunung Semeru yang saat ini disimpan di Belanda, sedangkan sebuah lagi adalah yang berada in situ di Karangkates ini.
Kembali kepada kesan pertama memandang arca Ganesha di Karangkates, saya merasakan suatu kebesaran atau grandeur yang menggetarkan ketika melihatnya. Tentu saja ini kesan ini dirasakan pula oleh banyak orang lain, atau bahkan bisa jadi kesan itu malah berubah menjadi menakutkan bila yang memandangnya memiliki niat buruk dalam hati. Saya kira untuk kesan ini, sudah tepat bila Ganesha memiliki nama lain dalam Bahasa Sansekerta: vighnanāśaka, atau penghilang (nāśaka) dari vighna (halangan).
Bila berkunjung, kita kadang-kadang melihat pratima Ganesha ditempatkan di depan rumah dan tempat suci untuk mengusir vighna. Tak heran jika patung Ganesha sering ditemukan di tempat yang berbahaya, seperti sungai dan jurang untuk menghadang marabahaya atau peredam murka. (Konon, Patung Ganesha di Karangkates ini dulu ada di tepian Sungai Brantas sebelum dipindahkan ke tempat saat ini). 
Saya setuju dengan pendapat arkeolog Budiarto Sedyadi, yang mengutip pendapat Stutterheim menyatakan, “Penempatan Ganesha adalah sebagian dari strategi kultural manusia untuk menanggulangi bencana.”
Stutterheim mengemukakan arca Ganesha sering ditemukan di dekat tempat berbahaya seperti sungai atau jurang seperti penempatan halnya di Karangkates. Tidak saja pada pertemuan sungai namun juga di perempatan jalan atau lereng gunung berapi, seperti halnya di Torongrejo (Batu, Jawa Timur) di mana Ganesha ditempatkan di pinggir sungai menghadap ke arah pegunungan. Selain itu, di Candi Penataran (Blitar, Jawa Timur) arca tersebut ditempatkan di dalam candi untuk menghadang kemarahan Gunung Kelud.
Para ahli sejarah meyakini arca Ganesha di Karangkates sudah bergeser dari posisi aslinya, meski tapi diperkirakan letaknya tidak terlalu jauh berbeda dengan letak aslinya. Bila arca sekarang menghadap utara, diduga dahulu menghadap ke arah barat daya.
Foto lama dari arca Ganesha di Karangkates, waktu pengambilan tidak diketahui.
Saya bukan arkeolog atau sejarawan, sehingga tak memiliki kemampuan analisis tentang asal-usul dan ikonografi arca yang dimuliakan tersebut, namun dari sumber sekunder diketahui Ganesha yang berdiri ini adalah satu-satunya di Indonesia. Patung yang berasal dari periode kerajaan klasik di Jawa dipastikan merupakan piranti dari suatu sistem agama yang dekat dengan Siwaisme, sebab pemujaan terhadap dewa ini hanya terjadi pada sistem monarki berbasis agama Buddha-Siwaistik.
Ada beberapa versi mengenai kelahiran Ganesha. Salah satunya, adalah karena perbuatan Dewa Siwa memenggal kepala anaknya. 
Alkisah, setelah pergi bertahun-tahun lamanya, Siwa pulang dan menemukan istrinya Parwati mandi, sementara pintu depan dijaga anaknya – yang tak diingat lagi wajahnya. Lantaran dihalangi masuk, sang dewa marah dan memenggal anaknya dengan trisula. Tak pelak, Parwati meratap dan menangis. Siwa menyesal, lantas mencari hewan yang sedang tidur untuk diambil kepalanya. Seekor gajah sedang tidur pun dipenggal untuk menggantikan kepala yang terpotong.
Untuk mengobati rasa sesal, kepada Ganesha (demikian nama anaknya) diberikan segala kuasa atas pengetahuan dan juga keselamatan bagi siapapun yang memohon pertolongan kepadanya. Demikianlah, terbentuk jati diri Sang Dewa Pengetahuan yang serba asih itu.
Arca Ganesha berdiri dari lereng Gunung Semeru yang disimpan di Belanda.
Ganesha dipuja secara meluas, tidak saja di Indonesia. Sejak perniagaan India menguat pada abad ke 10 Masehi, para pedagang membawa budaya dan bersama mereka konsep keillahian Ganesha sebagai pelindung manusia fana. Ganesha dipuja dengan nama dan reinkarnasi beragam: Tshog Bdag di Tibet, Kangiten di Jepang, Maha Peinne di Burma, Pra Phikhanet di Thailand, dan Gana Aviyo in Sri Lanka.
Sejarawan Rusia, Yurievich (2016) bahkan berargumen secara mitologis dan teogonis, pemujaan terhadap Dewa Apollo, Dewa Indra dan Dewa Ganesha (Vinayak Ganapati atau vighnanāśaka) memiliki paralelisme yang bersumber dari tradisi Indo-Arya (lebih dulu dibandingkan kebudayaan vedik di India). Dewa ini memang mirip Janus atau kombinasi Dionysus dan Apollo dalam kedewataan Yunani, seperti halnya Horus dan Seth dalam kedewataan Mesir Kuno.
Kontroversi dari patung Ganesha di Karangkates ini bagi saya adalah pada perpaduan dua konsep besar di dalam pematungannya. Kedua konsep ini secara kosmologis saling berbenturan.
Ganesha selalu digambarkan dalam pantheon (kedewataan) Hindu sebagai lambang dari seluruh pengetahuan yang ada di alam ini. Dewa pengetahuan ini lazimnya ditandai sebilah gadingnya yang patah (melambangkan alat untuk menulis), kapak (melambangkan ketajaman pisau analitis), tali (melambangkan fungsi pengetahuan), dan sebuah labu atau madaka di mana belalai Sang Dewa menyedot manisnya “buah” pengetahuan.
Sementara itu, di sisi lain, saya melihat Patung Ganesha di Karangkates memakai berbagai elemen yang erat dengan sebuah aliran mistisme dalam agama Hindu dan Buddha, bernama Tantra. Muñoz (2013) menggambarkan Tantra pada awalnya merupakan sebuah bentuk esoterik dari Buddhisme dari aliran Mahayana. Meluasnya aliran Tantra sejak abad ke 8 Masehi di Jawa, adalah karena daya tariknya, lantaran memakai berbagai ritual dan mantra yang dapat memintas rangkaian sengsara (samsara) sehingga mencegah reinkarnasi tiada akhir.
Tantra sebagai mistisme dalam agama Hindu dan Buddha memiliki varian "kelam" Bhairawa.
Sebaliknya, arca Ganesha di Karangkates ini dipenuhi rangkaian tengkorak, sebuah tanda pengaruh Tantra, yang kemungkinan bergaris-besar Bhairawa. Tantra aliran ini dikenal meluas di Jawa, termasuk pada masa Kerajaan Singasari, khususnya pada saat Kertanegara berkuasa. 
Bhairawa, yang dalam bentuk ekstrimnya dipraktikkan dalam bentuk Kalacakra, memuja Siwa pada tahapan demonik sebagai penghancur semesta. Persembahan darah manusia, kanibalisme dan pesta-pora dipraktikkan dalam aliran Tantra ini, mendekati apa yang ditulis fenomenologis barat Jean Paul Ricœur sebagai debauchery yang akhirnya membawa manusia ke statu titik di mana ia memperoleh “pembebasan jiwa.”
Tak heran jika ritual pancamakara dalam aliran Bhairawa melibatkan pemuasan segala nafsu manusia sebagai cara menadirkan semua pengaruh nafsu bukan melalui asketisme (tapa) namun penyaluran total keinginan duniawi itu. Sejumlah kerajaan di Nusantara yang menganut Buddha-Siwaisme, diduga menjalankan aliran Tantra ini, sebagaimana dibuktikan oleh peninggalan arkeologisnya.
Batara Ganapati, penggambaran Ganesha dalam pantheon wayang Jawa.
Penggambaran Ganesha dalam arca yang dipengaruhi Tantra dari aliran Bhairawa ini disebut juga sebagai Batara Ganapati dalam kosmologi Jawa. 
Lima tahun silam, ketika siang menjelang tengah hari, di bawah surya bersinar terik, saya berdiri beberapa langkah di depan patung yang menggambarkan putra Dewa Siwa dari ibu Dewi Parwati. Saya membayangkan para resi memeragakan ritual beraliran Tantra di depan Sang Dewa Pengetahuan, mungkin dengan pengorbanan mirip sekte Bhairawa. Berbeda dari tunggangan Ganesha yang lazimnya berupa tikus (reinkaransi dari seorang wasi yang membelot dari kahyangan), kendaraan kali ini adalah tengkorak-tengkorak manusia (yang dikorbankan).
Jauh di dalam benak, saya membayangkan bagaimana prakonsepsi Indo-Arya mengenai keselamatan dalam wujud Dewa Pengetahuan yang serba pengasih bisa bertiwikrama menjadi manifestasi Siwa yang menyeramkan – berwujud patung dengan elemen Tantra yang menakutkan. Asap dupa, bau daging, persetubuhan, suasana semi trance dengan sajian minuman memabukkan terbayang ketika melihat arca ini, sebuah gambaran dari ritual pancamakara: yang kemudian disebut sebagai perbuatan nista mo limo kata orang Jawa.

Raymond Valiant (2019)

Komentar

  1. Ganesa adalah salah satu atribut Tuhan Hyang Maha Kuasa. Kualitas untuk mengatasi segala rintangan untuk mewujudkan Dharma atau kualitas yg membuat rintangan jika kita melakukan adharma. Kualitas itu juga ada dalam diri kita. (Potensi)

    Saat kita melihat Ganesha atau memvisualisasi Ganesha maka sebenarnya membangkitkan kualitas itu dalam diri kita.

    Itu sebabnya Ganesha paling banyak di puja. Saat kita membangkitkan kualitas rendah dalam diri kita seperti Takut, benci, bimbang, kuatir, stress dll...coba ingat Ganesha, bayangkan beliau, jika bisa ucapkan mantra Ganesha..

    Jadi Ganesha Bhaiirawa bukanlah seperti yg anda bayangkan. But it's Up to you...melalui Ganesha kita bisa meraih Bhava...kebahagian sejati...kebahagian yg tidak berasal dari tubuh atau Indra kita yg tidak langgeng...Om Sri Ganesahya Namah...semoga seluruh mahluk berbahagia.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Solo Valleiwerken: Mega Proyek Zaman Hindia Belanda

Antonio Mario Blanco dan Ni Ronji