Sejarah Minum Beralkohol di Indonesia

Minuman beralkohol di Indonesia memiliki sejarah panjang yang berkaitan dengan perkembangan peradaban di Negeri ini.

Bentuk paling dasar minuman beralkohol di Indonesia adalah sadapan dari cairan tumbuhan (soma), yang lazim diambil dari pepohonan genus Palmae. Cairan ini didiamkan atau diolah lebih lanjut sehingga meningkat kadar etil-alkoholnya akibat peragian-sendiri di dalam cairan itu sehingga memberi rasa nikmat/segar ketika dikonsumsi. Tumbuhan Palmae yang lazim disadap cairannya adalah aren (Arenga pinnata Merr), nipah (Nypa fruticans) dan siwalan (Borassus flabellifer).
Sadapan dari aren, nipah maupun siwalan mengandung gula sederhana (sakarosa) 1-2% yang mudah mengalami peragian apabila dibiarkan dalam suhu ruang. Kebiasaan meminum nira (soma) ini diduga sudah setua migrasi suku-bangsa Maleanesia yang datang ke Indonesia lebih dari 10.000 tahun sebelum Masehi. Meminum sadapan ini juga berkaitan dengan kebiasaan mengunyah pinang (atau piru dalam bahasa setempat) sebagai stimulan ringan yang sampai saat ini masih dilakukan keturunan Maleanesia di Maluku, Timor atau Papua. Kebiasaan-kebiasaan ini dianggap sebagian dari tradisi nenek moyang kita.
Cairan hasil sadapan dari pepohonan ini diminum berbagai generasi Indonesia, dan dikenal dengan berbagas nama: tuak (Tapanuli), ballo (Toraja), beram (Kalimantan), sageru atau saguer (Maluku dan Manado), moke (Flores), atau bobo (Sorong). Sebagai minuman beralkohol, nira ini biasa dikonsumsi di Nusantara dan juga dikenal berbagai negara, semisal Filipina (disebut tuba), Kamboja (disebut tuk nut choo) atau ro-tua (Viet Nam).

Sumatera Utara masih menjadi pusat produksi tuak untuk dikonsumsi.
Kedatangan suku-bangsa Austronesia antara 10.000 hingga 5.000 tahun sebelum Masehi ke Nusantara membawa budaya bercocoktanam di lahan basah, yang mengantarkan penduduk Indonesia mengenal berbagai macam serealia sebagai sumber kalori, khususnya padi-padian. Serealia dari jenis padi-padian ini membawa kesempatan baru memperoleh minuman beralkohol.
Serealia (padi) dapat dimanfaatkan lebih lanjut menjadi bahan minuman beralkohol yang dihasilkan dari peragian beras dan kebiasaan mengolah ini meluas seiring kebudayaan menanam padi. 
Budidaya pertanian padi dan dikenalnya penanaman tebu (Sacharrum off.) di Pulau Jawa dan Sumatera secara meluas pada abad ke 16 dan 17, berperan mendorong dimulainya penyulingan alkohol. 
Budidaya tebu dan pengembangan teknik pembuatan gula kemungkinan besar dikenal di India, dan berkembang di Cina pada dinasti Tang, khususnya di daerah Yangzhou, tetapi teknik penyulingan alkohol dari beras yang difermentasi dan gula dari olahan tebu baru dikenal pada zaman dinasti Yuan.
Beras yang ditanak dicampur dengan ragi dari rempah adas dan kayu manis, kemudian diragikan dan dibubuhi sisa tebu (tetes atau molasses) yang mengandung gula sehingga menghasilkan semacam sour mash yang merupakan bahan dasar pembuatan minuman beralkohol dengan kadar lebih tinggi. Di beberapa tempat, adonan dasar ini kemudian dicampur dengan nira dari kelapa atau enau sehingga memberikan rasa yang lebih kuat karena air dari pepohonan itu memiliki aromatika tersendiri.
Pengaruh dari perdagangan dengan Cina menyebabkan pada 1611 sudah berdiri penyulingan arak (dari Bahasa Arab: alaqi) di sekitar Batavia (Jakarta) yang memanfaatkan produksi serealia dan molasses dari sisa olahan tebu yang ditanam di sekeliling daerah aliran sungai Cisedane dan Ciliwung. 
Orang Cina berperan datang membawa masuk teknologi penyulingan secara bertahap, yang mula-mula berpusat di kawasan penghasil padi, namun kemudian berkembang meluas ke bagian lain dari Nusantara yang tidak saja menyuling beras yang diragi, namun juga nira dari tetumbuhan Palmae.
Penyulingan beras yang ditanak dan diragikan, sehingga menjadi minuman beralkohol dikenal secara meluas di sekitar Batavia pada abad ke 17, dan dalam bahasa Fukien disebut tsieuw, oleh orang Jawa dilafalkan ciu. Menarik untuk diketahui, salahsatu ekspor paling berharga dari Jawa pada abad ke 17 dan 18 adalah arak. Pedagang Belanda membeli arak kepala (dengan kadar etil-alkohol mendekati 60%) dan mengapalkannya ke Cina, India, Srilanka dan Eropa. 
Setelah VOC bubar dan perekonomian agraris di Jawa berkembang di bawah cultuurstelsel, penanaman tebu ikut berkembang sehingga mendorong industri minuman keras. Pengolahan arak atau ciu meluas ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, di mana sejak abad ke pertengahan abad 19 dan berkembang pesat penamanan tebu dan pertanian padi. Sentra penghasil arak tradisional yang disebut arjo (arak Jawa) kemudian berpusat di sekitar Solo, Madiun, Ngawi dan bahkan Jember.

Sebuah kartu pos awal abad ke 20 menggambarkan kebun tebu yang masak.
Pengaruh kolonialisme di Indonesia juga mendorong masuknya rempah ke dalam minuman beralkohol di Eropa. Selain ekspor berupa gula, rempah dan arak ke Eropa, di Belanda mendorong beberapa penyuling mulai memasukkan rempah dari Indonesia ke dalam minuman hasil sulingan mereka. Lazimnya penyulingan minuman beralkohol memerlukan perasa agar memberi efek yang menyegarkan. Hal ini juga berlaku dalam proses pembuatan minuman tersebut di Eropa, sebagai salah satu benua dengan tradisi pengolahan alkohol yang panjang.
Kayu manis, atau cinnamon, dibeli mula-mula oleh orang Eropa (Yunani) sebelum Masehi, melalui para pedagang perantara yang datang dari timur. Itu sebabnya dipakai kata Cinna (dilafalkan sinya) untuk mengasosiakan kayu manis ini dengan wilayah “timur.” Kata ini masuk ke dalam khazanah Bahasa Yunani dan menjadi baku dalam Bahasa Latin. Setelah Belanda memasuki kancah perdagangan di Nusantara pada abad ke 17, kayu manis ini adalah salah satu rempah yang dikuasai, bersama adas, lada dan pala.
Pemerian dari ahli botani Rumphuis pada abad ke 17 terhadap tanaman di Indonesia sudah memakai kata “cinnamonium” untuk menamai kayu manis. Orang Eropa menggemarinya karena memberi rasa yang enak pada roti dari farines (tepung). Satu hal pasti, kayu manis menghilangkan apak karena penyimpanan tepung. Namun adalah orang Belanda yang masukkan kayu manis dalam distilasi alkohol.
Perkembangan bentuk botol dari guinevere atau jenewer merk Bols.
Merk alkohol “Bols” yang terkenal, menyuling etanol dengan menambahkan rerempahan untuk memperkuat rasa. Jika semula alkohol disuling dengan menambah juniper sebagai perisa sehingga menghasilkan gin, maka dengan hadirnya kayu manis, adas dan rempah Nusantara lainnya, maka orang Belanda kemudian membuat guinevere atau jenewer sebagai minuman beralkohol yang mantap rasanya. Lucas Bols, pendiri merk terkenal “Bols” adalah salah seorang pemilik saham VOC.
Pengolahan nira menjadi arak juga berkembang di berbagai tempat lain, yang kaya akan bahan-bahan dasar yang mengandung karbohidrat (dan/atau gula) sehingga dapat difermentasikan. 
Orang Sumba, Timor, Maluku dan Minahasa menyuling nira mereka masing-masing menjadi sopi (demikian nama generiknya), memakai teknik dasar peragian yang sama dengan proses pembuatan arak atau ciu di Jawa. Bahan dasar, peralatan dan metode kerja, memberikan rasa yang berbeda-beda antara sopi yang diproduksi antar daerah. Kesegaran dan kenikmatan memang bisa berbeda.
Sopi sebagai hasil penyulingan nira, memiliki beberapa nama di berbagai penjuru Nusantara. Di Minahasa, sopi dijual dengan berbagai merk, salahsatunya adalah "Cap Tikus" yang menjadi icon minuman beralkohol hasil penyulingan nira di bumi "nyiur melambai." Saat ini, di Nusa Tenggara Timur, minuman sulingan setempat juga telah diproduksi secara eksklusif dengan merk "Sophia."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arca Ganesha di Karangkates: Pertarungan Kebijakan Pengetahuan dan Keliaran Manusia

Solo Valleiwerken: Mega Proyek Zaman Hindia Belanda

Antonio Mario Blanco dan Ni Ronji