Dari Micky Jaguar sampai Sylvia Saartje

Pemusik dari Malang pernah mewarnai jagad hiburan Indonesia dengan talenta mereka yang diasah di berbagai pentas. Sumbangsih kota di dataran tinggi ini cukup berarti untuk musik nasional.

Pada tahun 1970 hingga awal 1990-an, Malang pernah disebut sebagai barometer musik Indonesia. Penonton musik kota ini, diakui oleh berbagai grup musik memiliki antusiasme dan sikap kritis. Konon, jika sebuah grup musik berhasil tampil prima dan diterima pentasnya di kota dingin ini, maka kualitas penampilan mereka pasti dapat diterima masyarakat Indonesia. Sebaliknya bila tidak, jangan harap grup itu bertahan.
Meskipun pernyataan itu tampak berlebihan, tapi Malang —sebagaimana halnya Jawa Timur memang wilayah dalam khazanah kesenian yang sangat dinamis. Beberapa pemusik terkenal bangkit dari kota ini. Mereka pada zamannya mengangkat Malang ke peta musik Nusantara. Jauh sebelum teknologi terbeli, naluri untuk merangkai nada dan membesutnya sampai ke puncak, membuat mereka dikenal sebagai para perintis.
Sebutlah nama Micky Markelbach (1950-1986), penyanyi rock blasteran Malang dan Jerman. Ia lebih dikenal dengan nama Micky Jaguar. 

Micky Merkelbach (1980) dari dikutip blog milik Remy Soetansyah
Pada tahun 1970 dia bergabung dengan sebuah band bernama Bentoel, sesuai nama pabrik rokok yang menjadi sponsornya. Dia bermain antara lain bersama Jusuf Antono Djojo alias Ian Antono sebagai pemain gitar dan Teddy Sujaya sebagai pemain drum.
Nama Micky cukup terkenal ketika dia memotong seekor kelinci dan meminum darahnya di atas pentas di Gelora Pancasila, Surabaya tahun 1972, tatkala sepanggung dengan Victor Wood – penyanyi pop Filipina yang saat itu terkenal di Indonesia dengan lagu berjudul Du. Pertunjukan itupun dibubarkan polisi.
Bentoel saat itu merupakan salah satu band yang tergolong hebat untuk ukuran Indonesia. Tapi grup itu harus berakhir, karena Ian Antono dan Teddy Sudjaya dibawa Achmad Albar ke Jakarta untuk membentuk grup band God Bless (1974). Bubar dengan Bentoel, Micky lalu mendirikan grup band Ogle Eye, bersama seorang gitaris muda asal Lowokwaru Gang 6 Malang, bernama Emmanuel Herry Hertoto, atau akrab dipanggil Totok Tewel.
Sekalipun terkenal di pentas, Micky tidak terlalu berhasil di dapur rekaman, Dokter Pancaroba (1978), album pertamanya, digarap bersama Jopie Item (ayah Audi Item). Salah satu hits adalah “Hey Dokter.” Pada tahun 1980, Micky merantau ke Jakarta, di sana dia pun mendirikan grup band Jaguar, kembali bersama gitaris Totok Tewel.
Totok Tewel (2015)
Album kedua, dikerjakan oleh Bambang Sulaiman, mantan pemain bass Bentoel. Sayang album ini tidak selesai. Micky wafat di Sukabumi sekitar tahun 1986. Totok Tewel sendiri lebih sering berkeliling dan sejak 1983 bergabung dengan sebuah grup bernama Elpamas, singkatan dari Elektronik Payung Mas – sebuah nama toko yang menjadi sponsor grup tersebut – bersama Dollah Gowi (vokal), Didiek Sucahyo (gitar bas), Edi Darome (keyboard) dan Rastato (drum). Totok terus berkiprah bersama grup itu, dengan personil yang berganti-ganti, hingga kini.
Bila kita menarik sejarah musik di Kota Malang lebih ke belakang, maka ada sebuah sosok legendaris lain yang terkenal. Namanya Abadi Soesman. Ia dikenal sebagai salah satu pemain musik serba bisa asal Malang. Pria kelahiran 1949 di Malang ini memulai karier musiknya dengan band bocah bersama dengan saudara-saudaranya serta sahabatnya di Malang pada 1959 dengan nama Irama Abadi. Ian Antono saat itu bergabung memainkan alat musik bongo. Grup itu memainkan musik latin dan langgam melayu seperti yang mereka simak dalam album kelompok Gumarang yang tengah populer. 
Bakat bermusik dari Abadi dan saudara-saudaranya bersumber dari ayahnya, Soesman Soemosoesastro —seorang dokter ahli mata— yang menjabat Kepala Rumah Sakit Tentara (RST) Malang. Sang ayah pandai menggesek biola dan ibunya, Etty Soedirman, trampil memainkan piano. Kemampuan bermain piano klasik diperoleh Abadi dari sang ibu, yang dilanjutkan dengan belajar piano klasik pada E. van Rommer di Malang pada 1956 dan piano jazz pada Liem Kok Hwa sekitar tahun 1959.
Walau memiliki dasar musik klasik dan jazz, Abadi lebih tertarik dengan rock and roll. Abadi memutuskan hijrah ke Jakarta pada 1970 dan melamar bermain pada home band di Tropicana, sebuah klub malam ternama Jakarta, namun tak diterima. Kesempatan datang saat pemain keyboard grup musik The Disco, Andyono Arie sakit, dan Abadi diterima sebagai pemain pengganti. 
Melihat bakatnya, Abadi direkrut Dimas Wahab sebagai pemain keyboard dari grup musik ternama Jakarta, The Pro's, untuk mengisi pemain lama, Broery Marantika yang ingin berkonsentrasi sebagai penyanyi. The Pro's kemudian bertolak ke Amerika Serikat bermain sebagai home band di Restoran Indonesia "Ramayana" yang terletak di New York City. Saat itu, selain mengiring Broery, The Pro’s juga kerap mengantarkan Bob Tutupoly menyanyi.
Pertengahan tahun 1970-an, Abadi kembali ke Indonesia, dan langsung bergabung dengan band Gipsy yang didukung Kenaan Nasution (drum) dan Chrisye (bass). Saat itu Gipsy bersama Guruh Soekarnoputra sedang mengerjakan beberapa proyek music bercorak progressive rock. Pada saat inilah, ketrampilan Abadi sebagai arranger semakin dikenal selain kemampuannya sebagai pemusik. 
Tidak lama bergabung dengan Gypsy, pada 1979, Abadi diajak bergabung ke God Bless yang sedang naik daun sebagai grup rock and roll terbesar saat itu di Indonesia. Pertunjukan grup itu di Malang pada saat itu, bisa dihadiri hampir 10.000 orang. Bersama God Bless, Abadi ikut menyumbangkan beberapa lagu tulisannya dan tercatat sebagai salah seorang anggota grup rock and roll tersebut yang berkesan.
Pada 1984, Abadi memilih keluar dan bergabung dengan band bernama Bharata. Grup ini meraih popularitas sebagai band yang memainkan cover lagu-lagu The Beatles. Hingga saat ini, ia masih bermain musik, baik dengan kelompok besutannya, The Abadi Soesman Band, yang mengkhususkan diri pada musik tempo dulu, dari Bee Gees hingga ABBA.
Lain lagi kisah Sylvia Saartje, wanita berdarah Maluku-Belanda yang dilahirkan tahun 1957 di Arnhem, Belanda. Bagi penggemar musik rock era 70-an, Sylvia Saartje yang kerap dipanggil dengan nama kesayangan Jippie ini, adalah daya tarik pentas pertunjukan rock yang saat itu didominasi oleh para pemusik lelaki. Bisa dibilang, Jippie berlenggang sendirian dalam kancah musik rock Indonesia.
Jippie yang lahir di Belanda, hijrah bersama orangtuanya ke Malang, Indonesia ketika usianya belum genap masuk sekolah dasar. Bakat menyanyi mulai terlihat sejak kecil tatkala aktif tergabung dalam paduan suara gereja. Pada usia 10 tahun, dia pun telah memberanikan diri mengikuti ajang Bintang Kecil di RRI Malang, Jawa Timur.
Dia memang memilih musik sebagai pilihan hidup. Ketika berusia 11 tahun, Jippie mulai diajak bergabung sebagai vokalis band Tornado, yang didanai pabrik rokok Faroka. Di sana dia bergabung dari tahun 1968 hingga 1970.
Pada tahun 1970, dia mulai mengukir prestasi dengan masuk sebagai 10 besar finalis Lomba Bintang Radio se-Provinsi Jawa Timur. Walaupun berkutat dengan musik pop, namun, nurani Jippie bergelegak dalam pusaran dinamika musik rock. Memasuki dasawarsa 70-an, seniman ini mulai terlihat fokus menyanyikan lagu rock diiringi sederet grup musik Jawa Timur saat itu, mulai dari The Gembell's, Bentoel, Avia's, Oepet, Arfack Band, dan banyak lagi.
Ketika majalah anak muda terbitan Bandung, Aktuil menggelar pertunjukan beraroma keras bertajuk Vacancy Rock pada 1972, Jippie tercatat satu-satunya artis wanita yang berjingkrak-jingkrak meneriakkan lagu-lagu rock. Saat itu, dia melantunkan lagu-lagu milik grup legendaris Led Zeppelin dan ratu musik blues, mendiang Janis Joplin.
Sylvia Saartje (1978)
Bahkan pada 1974, dalam sebuah pertunjukan musik rock di kampus Universitas Padjadjaran Bandung, Jippie mendapat sambutan luar biasa ketika menyanyikan lagu Pink Floyd dari album Dark Side of The Moon bertajuk “The Great Gig in The Sky.” Penampilan vokalnya nyaris sempurna. Saat itu secara tidak langsung penonton langsung membandingkan vokal Jippie dengan Claire Tory, artis wanita yang menjadi penyanyi tamu dalam album Pink Floyd.
Selain memilih jalur musik rock, Jippie pun mengembangkan bakat seni peran yang dimilikinya. Pada tahun 1972, sutradara Ostian Mogalano mengajak Jippie bermain dalam film laga bertajuk Tangan Besi. Bahkan, pada dasawarsa 80-an, Sylvia banyak terlibat dalam beberapa film layar lebar, di antaranya mendapat peran utama dalam film Gerhana (1985).
Setelah episode singkat bersama band rock wanita The Orchid (1976), yang beranggotakan Sylvia Saartje (vokal), Reza Anggoman (keyboard), Rini Asmara (drum), Senny (gitar bass), Lis April (gitar), dan Lenny (gitar), ia pun berjalan sendiri. Ian Antono, gitaris God Bless, lalu menawarkan solo karier bagi Jippie pada perusahaan rekaman Irama Tara. Salah satu album Jippie, bertajuk "Biarawati" berhasil sukses di pasaran. Lagu ini sering diputar di berbagai radio swasta di penjuru Nusantara pada 1980-an.
Di luar nama Micky Merkelbach, Ian Antono, Sylvia Sartje dan Totok Tewel, ada beberapa pemusik lain asal Malang yang berkiprah secara diam-diam di belantara hiburan sepanjang rentang 1970 hingga akhir 1980-an. Salah satu adalah Sudharmodo yang akrab dipanggil Dodot. Pemusik asal Jalan Ciliwung Nomor 20 Malang ini hijrah ke Bali pada akhir 1970-an. Ia bermain musik di Obong Café, Kayu Api dan Peanuts. Pada 1986, bersama grup musik bentukannya bernama Harley Angels, ia memenangkan kompetisi musik rock Log Zhelebour. Grup ini sempat mengeluarkan dua buah album, namun karena tidak berhasil di pasaran, kemudian membubarkan diri. Dodot masih bermain musik dan memberikan jasa perbaikan piano.

Raymond Valiant (2010)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arca Ganesha di Karangkates: Pertarungan Kebijakan Pengetahuan dan Keliaran Manusia

Solo Valleiwerken: Mega Proyek Zaman Hindia Belanda

Antonio Mario Blanco dan Ni Ronji