Rumpun Bahasa Austronesia Sepanjang Khatulistiwa

Bahasa daerah di sepanjang garis khatulistiwa di Asia bersumber dari persebaran orang Austronesia, moyang dari penduduk masa kini di benua maritim ini.

Bahasa daerah di Indonesia berakar dari rumpun Bahasa Austronesia yang masuk dan menyebar di negeri ini 8.000 sampai 6.000 tahun silam seiring dengan migrasi ras ini dari arah utara (Taiwan) memasuki kepulauan di sekeliling khatulistiwa. Rumpun bahasa ini lalu mengalami adaptasi sesuai tempat berkembangnya, dan persamaan kata-kata berbagai bahasa daerah yang membentang dari Madagaskar, Indonesia hingga Polinesia, dapat menjadi contohnya.
Hal ini tampak pada Bahasa Batak termasuk lima variannya (Karo, Angkola, Toba, Pakpak dan Dairi). Rumah makan Tambar Lihe, yang dalam Bahasa Batak Karo berarti “obat lapar” memiliki padanan dalam bahasa lain yang juga serumpun dari Austronesia. Kata “obat” atau tambar (Karo) = tamba (Jawa, Sunda) atau ubek (Minang); dan “lapar” atau lihe (Karo) = luwe (Jawa), lapar (Sunda), atau litek (Minang).
Sebuah rumah makan di Balige, Sumatera Utara memakai nama "obat lapar."
Khazanah ini menunjukkan asal serumpun berbagai bahasa di Indonesia, dan dapat diperluas di mana Bahasa Austronesia berkembang. Tabel berikut menyebut angka dalam  bahasa asli Taiwan, Cebu (Filipina) Malagasy (Madagaskar), Jawa, Batak Toba, Alifuru (Maluku) hingga Hawaii. 

Peta persebaran Bahasa Austronesia sepanjang benua maritim di khatulistiwa
Padanan kata-kata berbagai bahasa daerah menunjukkan Austronesia sebagai rumpun induk kebahasaan di sepanjang benua maritim yang membentang dari Indonesia hingga Polinesia. Teori migrasi dari orang Austronesia yang selama ini dibuktikan melalui pemetaan genome, mendapatkan pembuktian tambah melalui analisis linguistik dari bahasa-bahasa daerah yang membentang di kawasan ini.

Raymond Valiant (2019)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arca Ganesha di Karangkates: Pertarungan Kebijakan Pengetahuan dan Keliaran Manusia

Solo Valleiwerken: Mega Proyek Zaman Hindia Belanda

Antonio Mario Blanco dan Ni Ronji