Kesengsem Lasem: Catatan Sejarah Sebuah Kota Kecil

Saya berkesimpulan, jika belum ke Lasem —sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah— kita belum lengkap mengenal keragaman budaya Indonesia. Mulai Sunan Bonang hingga Tan Ke Wie, dari perdagangan candu hingga penjualan kayu jati (Tectona grandii), mulai wastra semacam batik (leran) hingga kuliner hibrida seperti lontong tuyuhan, maka Lasem adalah gambaran keindonesiaan yang penuh asimilasi.
Entah kenapa, ungkapan «kesengsem Lasem» atau «terkesima dengan Lasem» cukuplah tepat. 
Lasem adalah bagian Rembang, yang secara geografis merupakan kawasan memanjang di pantai utara Pulau Jawa. Rembang sendiri merupakan endapan alluvial dari berbagai lapukan hasil letusan gunung berapi di tengah-tengah Pulau Jawa. Sepanjang garis pantai ini kita menemukan jejak peradaban sejak masa purba, klasik, kolonial hingga masa kini. Artefak orang Austronesia dari masa prasejarah ada di Lasem, dan dari cara penguburan serta tradisi memangkur gigi-geligi, diduga usia peradabannya sekitar 4.000 hingga 2.000 tahun sebelum Masehi.
Selain garis pantai memanjang, kekhususan di Rembang ada keberadaan sebuah stratovolcano yang telah padam bernama Gunung Muria (+1.600 meter). Selain dipakai menamai seorang pengajar agama terkenal bernama Sunan Muria yang pernah bermukim di sekitar lerengnya, gunung ini juga disebut sebagai pusat mistisme. Sebuah retakan geologis (sesar) memanjang di bawahnya, membuat kita menduga Gunung Muria pernah mengalami periode-periode aktif yang menggentarkan dengan gempa vulkanis dan gerakan tektonisnya.
Tulisan ini khusus dibuat untuk menceritakan Lasem. Sebuah potret kecil dari kota di pesisir dan sekelilingnya, yang berada di tepian Pantai Utara Jawa, dengan demikian banyak rekaman peristiwa dalam deretan sejarahnya.

Wit Meh di Pancur

Orang setempat menyebutnya wit meh meskipun nama kesehariannya adalah trembesi (Samanea saman). Pohon besar ini diperkirakan berusia setidaknya 200 tahun. Kanopinya megah, mengingatkan pada Pohon Jiwa (Tree of Souls) dalam film Avatar, yang dapat menjadi perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan keberadaan sebuah pohon tua yang berada di Dukuh Karasjajar Desa Doropayung Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang. Letaknya sekitar 15 km di luar Lasem, namun tidak ada salahnya dimasukkan dalam salahsatu atraksi wisata Lasem.

Tepat di bawah wit meh tersebut, ada sebuah makam yang konon merupakan leluhur dari Dukuh Karasjajar dan dikeramatkan. Terlepas dari itu, secara ekologis, pohon ini sebenarnya lambang dari persenyawaan alam dengan budaya. Sebuah tabu masyarakat setempat, melarang pengambilan kayu dari wit meh ini menyebabkan kelestarian pohon yang laksana Tree of Souls ini pun terjaga.

Kelenteng Cu An Kiong

Tempat persembahyangan Tionghoa di Lasem ini disebut sebagai kelenteng tertua di Jawa. Meskipun pernah dijarah sehingga banyak catatan sejarah yang hilang, pengurus Tempat Peribadatan Tridarma bernama Cu An Kiong ini menemukan di Belanda sebuah peta kuno Lasem dari tahun 1477 Masehi yang menunjukkan adanya bangunan peribadatan tersebut. Sumber lain menyakini usia tempat ini lebih tua, bahkan mundur hingga abad ke 14, tatkala Majapahit masih berdiri.

Cu An Kiong ini dibangun oleh perantau Tionghoa yang mendarat di Lasem dan memilih permukiman di tepi Sungai Babagan. Tak pelak tempat peribadatan ini ditempatkan menghadap utara ke arah (semula) dari muara Sungai Babagan ke laut bebas. Menurut tradisi, Laksamana Zheng He pernah mendarat di depan kelenteng. Sungai Babagan bermuara di Laut Jawa sehingga pada masa lalu sering digunakan sebagai sarana lalu lintas kapal dengan dermaga yang kini sudah tidak tersisa keberadaannya
Terlepas dari usia, tempat peribadatan ini mengalami beberapa kali pembaruan. Bangunan utama kelenteng terdiri atas sebuah ruangan berbentuk persegi empat, yang terbagi menjadi dua bagian: sisi dalam dan sisi depan.
Bagian paling dimuliakan terletak di sisi dalam (selatan). Bagian ini ditandai deretan tiga buah altar, yang menghadap ke pertemuan Sungai Babagan dengan laut bebas. Altar utama ditempatkan di tengah, untuk menghormati Tian Shang Sheng Mu (Thian Siang Sing Bo dalam Bahasa Hokian) atau Ma Zu, yang juga disebut Mak Co, sebagai tokoh yang dimuliakan. Keunikan bagian ini terletak pada dua tiang kayu jati yang menyokong atap dengan garis tengah hampir 40 sentimeter dan gelagar kayu di atasnya yang dipenuhi ukiran. Sisi dalam ini tidak terbuka untuk umum.

Bagian kedua dari Kelenteng Cu An Kiong adalah sisi depan (utara) yang memiliki tiga pintu. Tempat ini merupakan tempat penerimaan umat yang bersembahyang sebelum memasuki bagian utama kelenteng. Atap dari bagian kedua ini juga disokong dua tiang kayu yang memiliki ukuran serupa namun tidak setinggi penyangga atap di sisi altar. Di antara bagian dalam (selatan) dan bagian depan (utara) terdapat sebuah atrium di mana sinar matahari dapat memasuki kelenteng. Ukiran kayu pada gelagar, bagian pintu dan selasar memberikan nuansa yang berbeda ketika sinar matahari jatuh tepat di atas atap.

Sebuah detil yang sedikit "seram" di Tempat Peribadatan Tri Darma Cu An Kiong, menggambarkan rupa seorang pria memikul kayu gording dari atap kelenteng. Wajahnya menyiratkan derita atas tugasnya memikul balok tadi. Pria yang diukir pada sambungan di atas lintel dengan gording ini menyerupai wajah dan perawakan dari seorang pencuri kayu, yang konon pernah mengambil kayu jati milik bangunan kelenteng ini.
Oleh karena berbuat kejahatan terhadap tempat peribadatan maka jiwa pencuri tadi lantas dikurung dalam patung kecil ini sebagai hukuman atas perbuatannya. Pengunjung kelenteng Cu An Kiong dapat melihat patung pria ini ketika memasuki bagian depan tempat peribadatan dari arah depan. Entah benar terjadi atau tidak, hukuman ini mengingatkan kita bahwa mencuri itu tidak baik.

Pemberontakan Lasem (1742-1750)

Perlawanan masyarakat Lasem terhadap tekanan VOC dan genosida komunitas Tionghoa di Batavia, memicu serangkaian pemberontakan yang melibatkan berbagai tokoh pada saat itu. Sebuah diorama dari rangkaian patung diletakkan di halaman depan tempat peribadatan Cu An Kiong, sebagai peringatan akan peristiwa tersebut. Tiga tokoh yang dikenang sebagai pemimpin pemberontakan saat itu adalah:
1) Raden Ngabehi Widyaningrat (yang bernama Oei Ing Kiat), Adipati Lasem (1727-1743) dan sekaligus mayor yang diangkat VOC untuk orang Tionghoa di Lasem (1743-1750). Ia gugur dalam pemberontakan pada 1750 di Layur, bagian utara Lasem dimakamkan di Gunung Bugel.
2) Raden Panji Margono, putra dari Pangeran Tejakusuma V, Adipati Lasem (1714-1727). Ia gugur pada 1750 sekitar Pace-Narukan, Lasem bagian utara dan dimakamkan di Dorokandang.
3) Tan Ke Wie, seorang pendekar kungfu dan sekaligus pengusaha asal Lasem, yang meninggal di selat antara Pulau Mandalika dan Ujung Watu di Jepara, setelah kapalnya tertembak meriam pada 1742. Saat itu, ia hendak berangkat menggempur VOC di Batavia.
Ketiga tokoh ini menjadi pahlawan setempat, yang dihormati namun belum secara resmi diakui dalam khazanah perjuangan kita menuju kemerdekaan sebagai sebuah bangsa.
Diorama Pemberontakan Lasem (1742-1750) dapat dilihat di depan Kelenteng Cu An Kiong

Kelenteng Gie Yong Bio

Tempat Peribadatan Tri Darma Gie Yong Bio adalah kelenteng yang didirikan untuk menghormati leluhur yang berani dan berbudi. Tempat ini didirikan pada 1780 di tepi Sungai Babagan yang merupakan salah satu nadi Lasem. Tujuan pendiriannya adalah menghormati para pahlawan Lasem dalam perang melawan VOC (1742-1750).
Bangsawan Jawa yang dimuliakan dalam kelenteng, adalah keunikan lain dari Tempat Peribadatan Tri Darma Gie Yong Bio di Jalan Babagan, Lasem. Sebuah altar disediakan khusus bagi Raden Panji Margono yang menjadi salah satu pahlawan pada pemberontak tersebut.

Perang ini adalah serangkaian perlawanan rakyat Lasem-Rembang dan sekitarnya terhadap kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Semarang (1741-1742) dan Lasem (1750). Konflik ini muncul sebagai dampak Geger Pacinan di Batavia, di mana lebih dari separuh penduduk Tionghoa di kota itu dibunuh pada 1740 oleh VOC.
Pembunuhan ini mengakibatkan migrasi besar-besaran penduduk Tionghoa dari Batavia ke Semarang dan Lasem. Seorang Adipati di Lasem menampung para pengungsi ini, dan akibat genosida ini muncullah pemberontakan melawan VOC. Pemimpin gerakan ini antara lain Raden Panji Margono, Oei Ing Kiat, dan Tan Ke Wie. Dalam pemberontakan ini, Margono terbunuh dan kenangan akan keberanian beliau ditabalkan dalam altar khusus untuknya di Kelenteng Gie Yong Bio tersebut.

Makam Keramat Han Wee Sing

Kami sudah berjalan lima belas menit lebih melewati setapak di kebun yang merangas di awal kemarau, menerabas bedeng rerumputan sebelum bersijingkat di antara tanaman ketela. Siang itu, kami mendaki sebuah gundukan tanah kecil dan bertemu makam dari seorang Tionghoa bernama Han Wee Sing. Makam itu berwujud bong (nisan besar) berwarna putih, berada tepat di tengah-tengah lahan kosong yang dibatasi perdu kebun di sekelilingnya. Tak ada makam lain di sekitarnya —sebuah makam yang kesepian.

Kisah mengenai Han Wee Sing di Lasem adalah daya tarik tersendiri. Bagi wisatawan yang berminat, makam di Desa Babagan, Lasem ini lekat dengan cerita mistis. Konon, Han Wee Sing adalah saudagar kaya dengan dua anak laki-laki. Ia menerapkan azas Konfusianisme dengan baik: hidup hemat, bekerja keras, tidak memadat ataupun berjudi. Sayang sekali sikap susila yang baik ini tidak ditiru kedua anaknya yang bernama Han Tse Su dan Han Tse Ngo. Keduanya gemar berjudi. 
Alhasil kegemaran beradu dadu mengakibatkan keluarga Han jatuh miskin. Sing pun wafat meninggalkan anak-anaknya. Kebangkrutan keluarga Han di Lasem, menyebabkan pemakaman Sing tertunda. Uang sumbangan dari pelayat malah digunakan berjudi. Hingga pada hari ke sekian, jenazah ayahnya belum dimakamkan, sehingga keduanya anaknya memutuskan memakamkannya sendiri. Mereka membungkus tubuh Sing dan memikulnya untuk memakamkannya. 
Dalam perjalanan, langit ditutup mendung. Angin bertiup keras dan hujan tetiba jatuh. Lantaran takut Su dan Ngo, tergesa menaruh jenazah ayahnya di tengah tanah lapang dan berlari meninggalkannya karena takut. Tetiba petir menyambar dan secara ajaib sebuah gundukan tanah muncul serta menelan jenazah Sing. Sejak saat itu gundukan tanah tadi dikenal sebagai makam dari saudagar Sing. 
Bersama dengan tertelannya jenazah ke dalam gundukan tanah itu, terdengar suara gaib yang mengutuk keturunan Han Wee Sing. «Siapapun keturunan marga Han di Lasem akan menderita dan jatuh miskin bila kembali ke tempat ini». Kedua anak Sing ketakutan dan melarikan diri keluar Lasem. Sejak saat itu, keturunan marga Han tidak ditemui lagi di Lasem. Mereka justru menjadi terkenal di kota-kota lain. Bahkan rumah abu keturunan Han didirikan di Surabaya meskipun marga itu berasal dari Lasem.
Makam Han Wee Sing masih diziarahi beberapa orang hingga lima atau enam tahun silam. Meskipun keluarga Han dikisahkan tak pernah mendatangi makam ini, namun seorang kepercayaan di Surabaya pernah ditugaskan mengurusnya. Pemerintah Kabupaten Rembang melalui komunitas sadar wisata di Lasem telah menjadikan makam ini semacam obyek wisata, meskipun tidak banyak pengunjungnya.

Lontong Tuyuhan

Sajian lontong tuyuhan adalah kuliner khas Rembang, yang ditemui secara khusus di dua kecamatan: Pancur dan Lasem. Lontong ini mirip opor ayam, memakai santan, kemiri dan serai, hanya saja ada tambahan cabai untuk membuatnya sedikit lebih pedas. Asal-usul lontong tuyuhan, konon tak terlalu sedap seperti namanya. Alkisah penamaan makanan ini berasal dari perseteruan Sunan Bonang yang bernama asli Raden Makdum Ibrahim dengan Blancak Ngijo, saat wali tersebut sedang menyebarkan agama Islam di daerah Rembang.

Permusuhan keduanya, menyebabkan suatu ketika Blancak Ngijo yang sedang menyantap lontong dengan opor ayam, terpaksa terbirit-birit lari karena bertemu dengan Sunan Bonang. Oleh karena terbirit-birit, yang dalam Bahasa Jawa diumpamakan kepuyuh-puyuh (terkencing-kencing), makanan yang sedang disantap Blancak Ngijo pun disebut lontong tuyuh. 
Tentu saja kisah di atas bisa disebut mitos. Namun, menurut sejarawan Fadly Rahman, opor memang perpaduan kuliner, Indonesia, Arab dan India. Santan dan serai adalah ciri Indonesia, sementara kunyit dan ketumbar adalah ciri khas masakan India dan Arab. Penyebaran agama Islam sepanjang pantai utara Jawa diduga berperan sebagai latar belakang opor —juga lontong tuyuhan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arca Ganesha di Karangkates: Pertarungan Kebijakan Pengetahuan dan Keliaran Manusia

Solo Valleiwerken: Mega Proyek Zaman Hindia Belanda

Antonio Mario Blanco dan Ni Ronji