Kiai Abisai Ditotruno

Kang dumunung ana ing Sastroné Allah kang asipat gesang, yaiku kang ngasto uripku lan uripmu sarta uripé wong sajagad kabeh, kang ora arah ora enggon, kang ora dunung, iya ora dumunung, kang adoh tanpa wangenan, kang cèdhak tanpa sesenggolan, kèsepak ora kèsandung, ora rumangsani, sakjabané rerasan lan sakjroné rerasan. 
[Dalam Firman Allah terdapat keselamatan, untuk hidupku dan hidupmu serta hidup semua orang, yang tanpa arah tanpa tempat, yang tidak tahu, tidak akan tahu, jauh namun tidak dirindukan, dekat namun tidak bersentuhan, tertendang namun bukan sandungan, tidak diketahui, baik di dalam maupun di luar perasaan.] 




Sore itu, suatu hari Minggu di bulan September 2022, kalimat-kalimat dari ajaran bernama “toya wening” (air bening) seakan terngiang kembali. Saat itu saya berada di Mojowarno, sebuah kecamatan di Kabupaten Jombang yang sejak pertengahan abad ke 19 Masehi telah memiliki beberapa desa dengan populasi orang Jawa beragama Kristen. 
Tepat, di sebuah ujung jalan kampung di Mojowarno, bersemayamlah makam seorang tokoh yang menuliskan “toya wening” tadi. Kalimat yang saya kutip tadi adalah karya seorang Jawa beragama Kristen, bernama Kiai Abisai Ditotruno (1791–1886). 
Ia dibaptis pada 25 September 1844 di Surabaya. Lantaran tidak mengalami kecocokan dengan komunitas di Ngoro di mana sebelumnya ia bergabung, pada akhir tahun 1844 ia pergi ke arah hutan Keracil, sekitar 10 km dari Ngoro. Di sana ia beserta beberapa pengikutnya membuka lahan untuk ditempati. Hutan ini kelak disebut Mojowarno setelah sejumlah pendatang lain yang juga beragama Kristen datang bergabung ke sana. 
Pemerintah Hindia Belanda mencatat pada tahun 1851, Ditotruno adalah pemuka desa pertama dari pemukiman yang menjadi purwa rupa Mojowarno. 
Ditotruno ini penganut kebatinan yang memeluk kekristenan. Penggambaran “toya wening” merupakan usahanya menjelaskan konsep kesatuan antara Allah dan Kristus melalui suatu contoh yang paradoksal. Keillahian Yesus yang relatif rumit dijelaskan apabila memakai penjelasan teologis barat, olehnya disederhanakan melalui ajaran ”toya wening” agar mudah dicerna oleh orang Jawa. Sebab, kesatuan antara Tuhan dengan kemanusiaan Kristus, bukan konsep yang asing bagi orang Jawa. Dalam kebudayaan (agraris) di Jawa, kesatuan itu dimungkinkan karena manusia dan Tuhan dianggap memiliki kesatuan hakikat (homo ousios). 
Dalam situasi paradoksal (manusia-Tuhan) sebenarnya penyatuan antara berbagai elemen yang berbeda itu memungkinkan. Suatu paradoks dapat menggambarkan adanya kebenaran universal dalam perbedaan sebagaimana sasanti “bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” yang pernah ditulis beberapa abad sebelumnya. 
Setiap hal mengandung percikan kebenaran, seberapa pun sulit manusia memahaminya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arca Ganesha di Karangkates: Pertarungan Kebijakan Pengetahuan dan Keliaran Manusia

Solo Valleiwerken: Mega Proyek Zaman Hindia Belanda

Antonio Mario Blanco dan Ni Ronji