Percakapan dengan Batu dari Masa Lalu

Jawa Timur adalah salah satu dari empat lokasi di Indonesia yang menyimpan kekayaan arkeologis berwujud aneka konfigurasi batu, bersama-sama Sumatera Selatan, Jawa Barat dan Sulawesi Tengah. Peninggalan ini diwariskan nenek-moyang kita, ketika mereka bergerak menetap di khatulistiwa melalui proses migrasi yang panjang, dimulai hampir satu setengah milinea sebelum Masehi hingga beberapa abad setelah penanggalan Masehi dimulai.

Situs megalitik di Jawa Timur tersebar secara relatif memusat di sekitar Situbondo, Bondowoso dan Banyuwangi. Peninggalan itu berwujud batu penutup kubur (dolmen), batu tegak (menhir) dan kubur batu (sarcophagus) tersebar di puluhan titik yang secara topografis dapat dihubungkan menjadi garis kontur penanda bahwa komunitas-komunitas penyusun batu ini mengikuti suatu pola perburuan dan perladangan tertentu sesuai ekosistem setempat.

Sejumlah peneliti menggunakan pendekatan dari Stein-Callenfels (1934) dan Heine-Geldern (1945) menempatkan peninggalan-peninggalan ini pada rentang beberapa abad sebelum dan sesudah penarikhan Masehi dimulai. Namun, Steimer-Hebert (2018) berdasarkan temuan arang dan bekal kubur (manik, gerabah dan keramik) di dalam konfigurasi batu tadi memberi penanggalan bahwa batu-batuan tadi dibangun pada kisaran abad 6–13 Masehi.

Artinya, sebagian besar konfigurasi batuan ini disusun tatkala kerajaan-kerajaan yang beragama Hindu dan Buddha telah terbentuk di Jawa. Kenapa? Tak ada yang tahu persisnya, namun dalam sudut sosio-psikologis, bisa jadi penyusunan batu-batuan ini merupakan suatu renaissance dari kebatinan asli orang Jawa, yang mencoba membangun hubungan supranatural dengan alam memakai kosa-budaya yang mereka miliki.

Sebagaimana dilihat di beberapa candi sekitar Karanganyar, seperti Sukuh dan Cetho yang dibangun pada akhir kejayaan Kerajaan Hindu-Buddha terakhir di Jawa, sekitar abad ke 15 sampai 16 Masehi, penggunaan simbol-simbol lama dan dirangkulnya kembali dinamisme oleh orang Jawa, menjadi semacam antitesis terhadap persebaran agama Islam yang justru menguat. Hal demikian juga terjadi, diduga, saat konstruksi megalitik disusun oleh nenek-moyang kita di penjuru timur Pulau Jawa saat kekuasaan Hindu-Buddha menguat.

Salah satu situs yang penting di Jawa Timur ada di Maskuning Kulon, yang masuk Kabupaten Bondowoso. Setidak 76 situs batuan yang ditata ditemukan di sini. Periodisasinya diduga tak jauh dari situs dolmen di Mulyosari, yang masuk Kecamatan Kalibaru di Kabupaten Banyuwangi.

Saat memandang rangkaian batu yang disusun dalam berbagai konfigurasi, terbayang pernyataan ahli arkeologi, Tanudirjo (2012) yang menyebut kebudayaan megalitik sebagai manifestasi dari upaya manusia (yang hidup) untuk menjalin hubungan dengan yang telah mati. Barangkali, saat menata batu-batuan itu nenek-moyang kita menemukan sebuah terapi batin yang menyehatkan jiwa. Tampaknya menyenangkan.








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arca Ganesha di Karangkates: Pertarungan Kebijakan Pengetahuan dan Keliaran Manusia

Solo Valleiwerken: Mega Proyek Zaman Hindia Belanda

Antonio Mario Blanco dan Ni Ronji